Tuesday, June 1, 2021

My Endometriosis Story: Perjelanan Penegakan Diagnosa (Bagian 1)

Bismillah, 

Lama tidak menulis di blog ini. Ibarat kalau rumah, pasti saya sedang membersihkan debu dan sarang laba-laba. Lalu, terbatuk-batuk 😂

So, mengapa kembali menulis? Menulis adalah kecintaan saya sejak kecil. Anehnya, yang paling saya cintai justru yang paling sering saya tinggalkan. Duh, bahasa apa ini 🤦‍♀️

Oke...oke. Lanjuuuut 🚗

Seperti judulnya, ini adalah perjalanan saya dalam menghadapi endometriosis yang memang sengaja saya tuliskan agar bisa menjadi catatan pribadi. Setelah perjalanan umroh dan pengurusan visa Schengen yang akhirnya hanya mangkrak di draft. Belum sempat menjadi tulisan bermanfaat, eh qadarulloh covid melanda. Misal pun saya posting sekarang, pun sudah tak ada guna. Karena aturan pasti sudah berubah total. 

Saya niatkan untuk menulis perjalanan ini sebagai bekal dalam pengobatan tahap selanjutnya. Syukur-syukur juga bisa diambil manfaat untuk pembaca. Tak masalah berapapun pembacanya. 

Cerita dimulai sejak kelahiran anak pertama tahun 2014. Saya yang semenjak gadis tidak pernah merasakan sakit saat menstruasi, setelah melahirkan justru terasa sakit. Meskipun volume tetap dan jadwal terhitung teratur. Ibu saya pun heran. Menurut pengalamannya, sakit mestruasi yang dirasakan saat gadis, hilang begitu saja setelah melahirkan anak pertama. Banyak yang seperti itu. Namun yang terjadi pada saya justru sebaliknya. 

Saya anggap ini adalah sebuah kewajaran. Toh sakitnya hanya 1-2 hari awal. Dan kadang periode ini sakit, tapi kembali tidak sakit pada periode selanjutnya. 

Singkat cerita, pada kehamilan anak kedua terasa sungguh melelahkan dan menyakitkan. Bagaimana tidak? Semenjak pekan ke 13, saya mulai sering ngeflek. Tepatnya pekan 15, saya seperti mendapat haid yang banyak dan tidak berhenti. Saya sudah merasa akan keguguran. Berangkat lah kami ke dokter kandungan dan terlihat bahwa janin baik-baik saja. Alhamdulillah. 

Semenjak itu obat penguat kandungan menjadi rutinitas saya untuk diminum setiap hari. Bahkan dosisnya bertambah seiring bertambahnya usia kehamilan. Karena perdarahan terus terjadi baik yang seperti darah segar maupun hanya flek-flek biasa. Suami saya saja sampai takut mendekat. Takut nyenggol dikit terus saya jadi berdarah-darah, hahaha

Setelah kelahiran bulan Juli 2019, cerita saya yang makin seru dimulai 🤭

Bersih dari nifas, tak berselang lama saya mendapat menstruasi. Di situ saya merasa bahwa kram perut yang saya rasakan kok jauh-jauh lebih terasa sakit dibanding dengan setelah melahirkan anak pertama. Lantas saya berasumsi tanpa ilmu. Saya mengira sakit ini karena anak kedua lahir dengan proses SC, lain dengan anak pertama yang lahir dengan proses pervaginam. "Oh, mungkin itu penyebab sakit menstruasi saya." 

Perlu diketahui bahwa itu adalah asumsi yang salah ya. Salah total. Berbulan-bulan setelahnya saya baru tahu ketika ada dokter yang memberitahu saya bahwa operasi SC tidak berhubungan dengan sakit mestruasi. 

Karena periode setelah yang saya ceritakan tadi saya masih merasakan sakit, saya pun ke dokter kandungan yang paling sabar menjelaskan dibanding dokter kandungan lain di kota saya. Setelah di USG, tidak ada apapun terlihat. Tidak masalah. Semua bersih-bersih saja. Sehingga rasa sakit itu dianggap biasa saja. 

Beberapa bulan kemudian, kalau tidak salah saat anak kedua saya berusia 11 bulan saya terlambat menstruasi. Sebelum-sebelumnya lancar saja. Tapi saat itu saya terlambat sekitar 2 bulan. Ditambah lagi perut bawah saya sakit. Sakitnya sampai ke kaki. Ngilu-ngilu gitu deh. Deg! Saya kira hamil. Sudah mulai tidak berpikir jernih. Otomatis beli testpack. 

Satu...dua...tiga...sampai tidak tahu lagi berapa testpack yang sudah saya cobakan. Hasilnya selalu negatif. Tepat terlambat 2 bulan, pergilah kami ke dokter kandungan. Dokter yang sama dengan yang kami datangi sebelumnya. 

Jawabannya sama. Tidak ada apa-apa, tidak terlihat apa-apa. Dan dokter menyimpulkan ini kemungkinan karena hormon. Walaupun saya tidak paham, bagaimana hormon bisa membuat menstruasi terlambat dan sakitnya luar biasa. 

Diberilah obat untuk mengeluarkan darah menstruasi. Tapi sampai obat habis tetap saja tidak keluar. Baru di bulan berikutnya saya menstruasi lagi. Dan dua periode setelah periksa ini, menstruasi saya sakitnya luar biasa. Sampai tidak bisa jalan karena kaki pun ikut sakit. Gemetaran. 

Saya membaca bahwa bergerak aktif akan mengurangi rasa sakit. Maka, saya paksakan untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Setelah rumah beres, saya muntah-muntah. Nah kan, jadi bingung, hahaha. Bahkan rasa sakit masih ada sampai periode menstruasi berikutnya. Pada saat ini saya mulai baca-baca, kemungkinan apa saja yang bisa terjadi dari timbulnya rasa sakit menstruasi. Didapatkan beberapa istilah: kista, miom, endometriosis, dan adenomyiosis. 

Berhubung rasa sakit masih terasa, obat penahan sakit pun juga tak mempan. Berangkatlah lagi kami ke dokter umum. Saya kira ini adalah gejala ISK. Maka, mantap aja datang ke dokter umum. Karena saya sudah pernah ISK berkali-kali.

Dokter nya pun mengira yang sama. Maka, saya diminta tes urine lengkap. Hasilnya? Semua bagus-bagus saja. Bagus sekali malah 😅

Dokter ini malah bilang bahwa bisa jadi sakit menstruasi saya karena riwayat melahirkan SC. Karena perkataan dokter tadi sama seperti asumsi saya, maka saya iseng nih tanya dokter kandungan di aplikasi Alodokter. Disitulah saya diberitahu bahwa SC dan sakit menstruasi itu tidak ada hubungannya. Ya tau ini setelah berbulan-bulan saya berasumsi seperti yang sudah saya ceritakan di atas. 

Sementara itu dulu ya, semoga bisa istiqomah melanjutkan cerita ☺


Salam hangat, 
Astri


No comments:

Post a Comment