Wednesday, September 27, 2017

Menimbang dan Memulai Homeschooling Bersama Rumah Inspirasi

Malam itu, sekitar satu tahun yang lalu, ketika kami masih ada di zona Long Distance Marriage (LDM), suami saya menelpon. Beliau menceritakan ada seorang Ibu yang membesarkan ketiga anaknya dengan metode Homeschooling dan semua anaknya sukses. Sebenarnya saya tahu yang dimaksud adalah ibu Septi Peni Wulandani, tetapi saya diam saja, hehe. Intinya beliau ingin, anak-anak kami dididik dengan sistem Homeschooling. 

(Sumber klik di sini)
Iya, kurang lebih seperti itu lah ekspresi saya. Kami belum mengenal satu sama lain sebelum menikah, kemudian langsung menjalani pernikahan jarak jauh, sekarang diminta menjalankan homeschooling.
Singkat cerita, saat ini kami tidak LDM lagi. Beberapa bulan lalu saya melihat postingan salah satu public figure yang menjalankan homeschooling untuk kedua putranya. Lalu, saya berpikir bagus juga sepertinya, cocok bagi kami yang sering berpindah-pindah. Namun, kemana harus mencari informasinya? Tidak ada satu pun di lingkungan kami, maupun silsilah keluarga kami menjalankan  homeschooling.
Beberapa hari googling, bertemulah saya dengan blog rumah inspirasi. Jadi, blog ini milik pasangan suami istri, Mas Aar dan Mbak Lala. Beliau menjalankan homeschooling untuk ketiga anaknya. Kebetulan juga, rumah inspirasi sedang membuka pendaftaran webinar bertajuk "Menimbang dan Memulai Homeschooling". Langsung tanpa pikir panjang saya mendaftar.
Webinar oleh Rumah Inspirasi ini membuka lebar-lebar mata saya. Bagaimana tidak, melalui webinar ini dikupas tuntas baik homeschooling usia dini maupun usia sekolah. Tidak hanya teori, namun juga teknis, maupun sharing pengalaman di keluarga Mas Aar dan Mbak Lala sendiri. Terbagi menjadi 12 sesi dan materinya sebagai berikut.


Banyak pelajaran yang diambil melalui berbagi ilmu bersama Rumah Inspirasi. Berikut saya coba untuk menuliskan tujuh poin diantaranya.

1. HOMESCHOOLING tidak sama dengan HOME ALONE
Ketika menyebutkan kata "homeschooling", umumnya yang menjadi pertanyaan adalah "bagaimana pergaulannya?". Rata-rata pertanyaan ini muncul karena ketidaktahuan sebagian orang tentang definisi dari homeschooling. Merujuk dari kata "home" yang berarti rumah dan "school" yang berarti sekolah, maka banyak yang mengartikan bahwa homeschooling adalah sekolah yang dipindah ke rumah. Mengerjakan semua pelajaran di rumah, sendirian, tanpa keluar rumah, sehingga tidak punya interaksi sosial. Padahal, homeschooling yang dimaksud adalah "pendidikan berbasis keluarga", maksudnya orang tua mengambil tanggung jawab penuh terhadap pendidikan anak-anaknya. Berbeda dengan sekolah formal yang mana orang tua menitipkan anak-anaknya ke pihak ketiga yaitu sekolah.
Kurikulum yang diambil pun bisa bervariasi untuk setiap keluarga. Tergantung dari situasi dan kondisi keluarga tersebut. Berbeda dengan sekolah formal yang kurikulumnya sudah ditetapkan oleh pemerintah dan seragam dari Sabang sampai Merauke, baik yang di kota besar maupun di puncak gunung. Maka, keluarga yang mengambil jalur homeschooling untuk pendidikan anak-anaknya bebas memilih kegiatan untuk media belajar. Misalnya, mengikuti kelas programming atau klub renang. Didasarkan pada minat dan bakat dari anak-anaknya. Terlihat kan bahwa anak-anak homeschooling juga terlibat dalam interaksi sosial.
Disisi lain, interaksi sosial itu tidak hanya sebatas pergaulan teman sebaya. Namun, lingkupnya jauh lebih luas dari itu. Sebenarnya berinteraksi sosial dapat dibagi menjadi tiga lingkup. Pertama value transfer dengan menanamkan nilai-nilai dari satu pihak ke pihak lain, dalam hal ini orang tua menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada anaknya. Kedua keterampilan sosial yaitu keterampilan berhubungan dengan orang lain terkait manusia sebagai mahluk sosial, contohnya empati dan menangani perbedaan pendapat. Ketiga adalah yang paling dikenal yaitu pergaulan teman sebaya.
Di rumah terus, nggak keluar rumah, nggak mau bicara sama siapa-siapa, jangan ditanyakan sama orang homeschooling, tapi tanyakan sama orang patah hati. Oke sip!

2. Penting menuliskan nilai-nilai dalam keluarga
Tidak hanya teori dari homeschooling, webinar yang saya ikuti juga diselingi teknis-teknis dalam menjalankannya. Salah satunya membuat nilai-nilai keluarga. Ini PR besar bagi saya sebenarnya. Jujur saja sedari kecil saya memang disiapkan bekal-bekal untuk berkeluarga, namun tidak ada penanaman bahwa berkeluarga itu harus dilandasi oleh nilai-nilai yang dibuat oleh kesepakatan antara suami dan istri. Kami sendiri, dengan kondisi belum mengenal satu sama lain dan tiga setengah tahun berhubungan jarak jauh, sebenarnya sudah membicarakan ini dan itu. Tetapi, itu semua akan lebih efektif jika kita menuliskannya. Bentuk kesepakatan yang menjadi nilai-nilai penting dalam keluarga, kemudian dituliskan, dan diletakan di tempat yang mudah terlihat oleh semua anggota keluarga. Cara ini akan memudahkan sebuah keluarga dalam melakukan kontrol dan evaluasi.
Rasa-rasanya menulis, controlling, dan evaluasi mutlak dilakukan disebuah perusahaan, tetapi jarang dilakukan disebuah keluarga. Padahal, ustadz Khalid Bassalamah pernah mengatakan suami dan istri adalah pegawainya Allah yang bekerja dalam perusahaan bernama keluarga *self reminder.

3. Internet adalah perpustakaan terbesar di dunia
Kami memang sudah mengenalkan internet kepada Azka. Mengingat Azka tidak suka melihat TV, maka internet kami gunakan agar Azka dapat belajar dari video-video yang ada. Sebagai ibu yang nggak kurang up date kemajuan teknologi, maka saya pun hanya ngulik-ngulik seputaran Youtube. Anda pasti sepakat bahwa "Youtube is like a BOOM", apa saja bisa kita temukan di sana melebihi TV.
Ternyata, internet tidak hanya sebatas Youtube, namun jauh jauh jauh (sampe 1000 kali) lebih dari itu. Berkat webinar bersama Rumah Inspirasi ini, saya akhirnya tahu bahwa banyak sekali kelas online bisa kita temui melalui internet. Baik berbayar maupun gratis. Baik yang menunjang keterampilan maupun kelas seperti perkuliahan. Dan itu dilakukan secara online. Ternyata ada Coursera, sebuah situs yang menyediakan berbagai mata kuliah dengan pengajar dari berbagai universitas KELAS DUNIA. Ada pula IndonesiaX, sama halnya dengan Coursera, namun pengajar berasal dari Universitas Indonesia. Berarti, masih ada harapan bagi saya mengambil matakuliah di Stanford University dong ya!
Tapi perlu ada satu hal yang perlu diingat, bahwa internet menyajikan jutaan informasi yang membuat "mabok sendiri" jika kita tidak memberikan batas. Nah melalui webinar, kami pun diberi kiat-kiatnya. Kami juga disarankan untuk tidak terintimidasi dengan sajian-sajian yang tampaknya keren. Bisa jadi, keren di luar sana namun tidak bisa dipraktekkan di keluarga kita.

4. Homeschooling bukan hanya milik orang tua super
Inilah alasannya ketika saya menolak ajakan suami saya untuk mendidik anak melalui homeschooling. Saya menganggap bahwa sangat tidak berkompeten menjadi guru dalam semua mata pelajaran sekolahan. Terutama fisika. Ternyata, orang tua super dalam homeschooling hanyalah mitos. Yang sebenarnya terjadi adalah, orang tua yang mau belajar, komitmen untuk bekerja keras, serta bersedia untuk bertumbuh bersama. Tugas orang tua adalah sebagai fasilitator anak-anaknya dalam belajar.
Orang tua boleh menunjuk pihak ketiga untuk membantu proses homeschooling. Misalnya saja, untuk matematika bisa berkunjung ke Khanacademy atau ixl math, bahasa Inggris menuju ke reading eggs, dan masih banyak lagi.
Meskipun saya terkadang masih merasa belum punya bekal apa-apa. Makin mengulik para ibu homeschooler, makin terlihat bahwa beliau-beliau ini aktif dalam berbagai kegiatan, bahkan menyabet banyak penghargaan. Sementara saya masih pusing ngejar-ngejar balita, heboh dengan urusan domestik, dan sibuk menjawab pertanyaan, "Kapan Azka punya adek?".

5. Benar dan salah? No way!
Bagian ini adalah favorit saya. Dalam webinar selalu ditekankan bahwa homeschooling itu kata kuncinya BOLEH. Artinya tidak ada yang mematok harus menggunakan kurikulum tertentu ataupun target tertentu. Tidak ada yang salah atau benar dari pilihan tersebut. Namanya juga pilihan, sehingga patokannya adalah cocok atau tidak cocok. Maka, trial and error dalam menjalankan homeschooling adalah suatu keniscayaan.
Pun disinggung juga bahwa sekolah formal bukan berarti jelek dan homeschooling adalah yang terbaik. Memilih homeschooling merupakan sistem yang dianggap cocok dalam keluarga, sehingga orang tua mau repot-repot mengambil tanggung jawab mendidik anak mereka.

6. Konsekuensi
Setiap pilihan pastilah mengandung konsekuensi yang mau tidak mau dihadapi. Begitu pula dengan pilihan homeschooling. Webinar ini juga membahas ke arah "yang tidak enak" yaitu berupa konsekuensi sebagai pelaku homeschooling.
Seperti yang sudah dibahas, bahwa sistem homeschooling berpusat pada orang tua, sehingga apapun yang terjadi pada orang tua, akan berpengaruh terhadap pendidikan anak. Misalkan, orang tua sakit, orang tua bercerai, atau salah satunya meninggal dunia. Peraturan pemerintah yang selalu berubah mengenai pendidikan non-formal pun bisa saja terjadi selama proses homeschooling berlangsung. Selain itu, bagi saya pribadi tantangannya adalah minimnya infrastruktur di kota domisili dan selalu berpindah-pindah tempat tinggal.

7. Jangan menunggu sempurna
Informasi tidak akan hebis-habisnya kita telan, begitu juga terkait homeschooling. Jika kita terus menggali dan menggali teori tentang homeschooling tanpa memulai, sama saja tidak ada artinya. Melalui webinar, kami diyakinkan bahwa memulai adalah langkah awal terbaik dari hmeschooling. Informasi dan ilmu akan terus dicari sembari kita mempraktekkan homeschooling di rumah.

Yeaaaayy!! Berkat webinar bersama rumah inspirasi, manusia kurang arahan seperti saya akhirnya mulai tercerahkan!
Sumber klik disini

Bagi yang ingin menggali ilmu lebih dalam tentang homeschooling, bisa diikuti blog rumah inspirasi, atau lewat Facebooknya, maupun instagram @RumahInspirasi_id.



Salam hangat,

Astri
(Bukan pakar homeschooling)

1 comment:

  1. Terima kasih mbak Astri untuk sharing ceritanya mengenai pengalaman mengikuti webinar homeschooling :)

    ReplyDelete