"Naskah kamu nggak bagus, nggak terstruktur,
nggak ada nilai jual."
Kalimat di atas adalah satu dari banyak kalimat
penolakan ketika saya mengikuti lomba menulis. Sekali lagi, satu dari banyak
penolakan. Entah berapa kali saya mengikuti lomba dan entah berapa kali saya
mengalami penolakan. Tak terhitung. Namun, saya tetap bertahan dalam dunia ini.
Disitulah saya menyadari bahwa menulis adalah gairah dalam hidup saya.
Mengapa saya menyukai menulis?
Saya menyukai dunia tulis menulis sejak duduk di
bangku Sekolah Dasar. Pikiran saya dalam mengolah kata dan gambar cenderung
sedikit berbeda dari teman-teman kala itu. Bagi kebanyakan teman, buku paket
Lancar Berbahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka adalah seonggok buku yang
wajib dipelajari. Bagi saya lain. Tokoh Ani dan Budi di dalamnya, berkelindan
di dalam otak membentuk suatu premis yang asik untuk saya pikirkan sendiri.
Contohnya: membayangkan betapa bahagianya Ani hidup di tengah keluarga yang damai nan
bersahaja. Atau bagaimana Budi bisa senang dalam permainannya yang sederhana.
Imajinasi saya yang terkesan "liar" itu membuat menulis menjadi salah
satu pelampiasan. Jika tidak dilampiaskan, maka saya menjadi banyak melamun. Singkatnya,
menulis adalah kegemaran saya yang bisa dijadikan sebagai obat anti-melamun.
Bagaimana keseriusan saya dalam menekuni
gairah di dunia tulis-menulis?
Yang paling pertama adalah saya selalu
mengerjakan tugas mengarang dengan suka cita. Tidak peduli berapa angka yang
diberikan oleh guru. Saya hanya peduli bahwa saya senang melakukannya.
Kesenangan tanpa merasa terbebani saya rasakan selama memakai seragam
putih-merah.
Beranjak remaja, saya mulai terpapar dengan
namanya majalah anak muda. Sebut saja Gadis, Kawanku, Hai (padahal ini majalah
cowok) adalah majalah yang sudah akrab bagi mata saya setiap bulannya. Sebagian
besar majalah itu saya baca dari hasil meminjam seorang kawan. Karena harganya
terlalu mahal.
Nah, ketika inilah awal mula saya meberanikan
diri mengikuti kontes cerita pendek. Jika lolos, maka akan dimuat oleh redaksi
majalah remaja tadi.
Mulus? Tentu tidak. Bahkan untuk menerjemahkan
panduan-panduan penulisan saja saya tidak bisa. Seperti ketika majalah Gadis
mewajibkan naskah diketik menggunakan spasi dua. Saya tak paham maksudnya.
Alih-alih mengatur jarak antar baris, saya justru menambah dua spasi untuk tiap
kata. Singkat kata, tak pernah sekalipun cerita pendek saya terpampang.
Ketika SMA saya menjadi gemar mengikuti lomba
karya ilmiah. Terlibat dalam proyek kecil-kecilan membuat saya tahu bahwa
menulis adalah bagian yang tak terpisahkan dari penelitian. Meskipun bekerja
secara berkelompok, namun bagian menulis seperti sudah dipatenkan sebagai tugas
saya. Saya menikmati betul ketika kata-kata menjadi sebuah irama dalam
menceritakan sebuah data. Saya menjadi lupa kegemaran terdahulu menulis fiksi. Beberapa
kali ditolak, akhirnya naskah kami diterima sebagai finalis dan berakhir
menjadi pemenang. Hingga menjadi mahasiswa, saya masih menekuni karya ilmiah
ini. Selain menikmati dalam membaut lapoannya, hadiah yang didapat pun bisa
menyambung biaya perkuliahan. Setidaknya untuk membeli buku dan fotocopy.
Penulisan karya ilmiah berakhir, seiring dengan
berakhirnya status mahasiswa. Saya pun mencoba kembali peruntungan dalam lomba
menulis fiksi yang informasinya didapatkan dari Facebook. Berkali-kali ditolak.
Berkali-kali mendapat kata penolakan yang-kalau boleh jujur sih-menyakitkan. Tidak
ada hasil yang berarti, lalu entah mengapa saya berhenti. Sejak itu seakan mati
suri. Tak muncul lagi keinginan saya untuk mengikuti lomba.
Titik
Balik
Meskipun tak lagi ingin mengikuti lomba, namun
dalam benak, saya tetap ingin menghasilkan sebuah karya dari tulisan.
Berkali-kali gagal dan mendapat kritikan pedas membuat saya maju-mundur. Saya
juga bingung mau memperbaiki kesalahan dari mananya. Saya belajar menulis
secara otodidak tanpa pendamping. Ketika naskah ditolak, saya bingung harus
mempebaiki dengan cara seperti apa. Bingung yang tidak berkesudahan justru membuat saya
tidak melakukan apapun. I hate that!
Hingga tibalah di tahun 2015. Di tahun itu saya
sudah menjadi seorang ibu dari anak laki-laki bernama Azka. Di tahun itu
pulalah saya mengenal sebuah platform yang
sedang betul-betul hits di media
sosial. Namanya Hipwee. Beda dengan saat ini, siapa saja boleh menulis di
Hipwee. Di awal berdirinya, tidak semua naskah dapat ditampilkan. Kita masih
harus menulis naskah di Microsoft Word dengan berbagai ketentuan. Naskah yang
tak berkabar hingga 2 minggu lamanya, dinyatakan tidak layak terbit.
Saya memberanikan diri untuk menulis sebuah
artikel. Azka adalah inspirasi tulisan saya kala itu. Setelah semua syarat
terpenuhi, tibalah saatnya pengiriman. Sebelum tombol send saya tekan. Saya sempat bernegosiasi dengan Allah. “Ya Allah,
jika tulisan ini tidak lolos. Saya akan berhenti menulis. Mungkin Engkau telah
sediakan sesauatu yang lebih baik dari ini.” Bismillah, tombol send ditekan.
Satu minggu… dua minggu… tiga minggu tak
berkabar. Ah sudah lah, artinya memang saya harus berhenti menulis.
Sampai akhirnya ada seseorang yang menghubungi
lewat e-mail. Beliau meminta maaf tidak dapat menayangkan artikel saya karena
Hipwee sedang ada perubahan sistem. Jika sistem sudah dibenahi, maka artikel
saya bisa diterbitkan. Allahuakbar.
Singkat cerita sudah empat artikel saya
ditayangkan di Hipwee. Dua artikel pertama saya, sudah mendapat share lebih
dari 500 orang. Artinya, in sya Allah yang membaca jumlahnya lebih banyak dari
itu. Satu artikel terakhir, Alhamdulillah diapresiasi oleh Hipwee menjadi salah
satu artikel terbaik ketika momen hari ibu yang lalu.
Bergabung di Institut Ibu Profesional juga
membuka banyak peluang dalam dunia penulisan saya. Salah satunya dari kulwapp yang
bertajuk “Me time yes, depresi no.” Berkat mengikuti kulwapp tersebut, saya
bergabung dengan ODOPfor99days. Tak lama setelah saya bergabung, muncul
pengumuman perlombaan flash fiction
yang nantinya akan menjadi anak kedua ODOPfor99days setelah buku berjudul “33
Kisah Me Time.” Tak disangka-sanga, dua naskah saya lolos untuk dibukukan. Flash fiction adalah aliran baru bagi
saya. Sangat baru. Senangnya ketika tulisans saya diapresiasi. Ditambah lagi
saat itu belum lama saya bergabung dengan IIP, sudah diberi Allah kesempatan
untuk dapat sedikit berkontribusi pada buku yang membawa namanya.
Jika saya menyerah kala itu, apakah ada momen
seperti ini? Saya tidak tahu pasti. Namun, mencoba bangkit dari terjatuh
memberitahu saya bahwa menulis memang benar-benar jalan hidup saya yang harus
lebih banyak lagi dipelajari dan ditekuni.
Motivasi
menulis
Ada saat dimana saya ingin menulis untuk kesenangan.
Yaitu ketika Sekolah Dasar. Beranjak SMP, saya ingin menulis agar ingin dilihat
karyanya. Ketika SMA keseriusan dalam membuat karya ilmiah, sedikit banyak
membawa ada motif ekonomi di dalamnya.
Motivasi-motivasi ini terus berubah seiring
bertambahnya usia dan pengalaman.
Tere Liye pernah berkata, “Memang sah-sah saja
kita menulis agar menjadi terkenal, menjadi kaya raya, menjadi keren, menjadi
idola dari orang-orang. Tetapi dengan motivasi seperti itu, energi kita akan
terkuras habis.”
Iya, saya merasakan apa yang beliau katakan.
Ketika menulis adalah untuk kepentingan pribadi,
maka akan sangat melelahkan ketika yang terjadi justru sebaliknya. Seperti yang
saya tulis di atas, saya malah berhenti setelah berkali-kali ditolak
mentah-mentah naskahnya. Karena apa? Karena saya lelah tidak diapresiasi. Saya
lelah ketika keinginan menjadi keren itu tak terwujud. Saya kecewa berlebih
ketika uang hadiah yang saya dambakan ternyata gagal didapat.
Maka dari itu sebelum akhirnya menulis untuk
Hipwee di tahun 2015, saya merubah motivasi dalam menulis:
- Saya menulis karena memang saya mencintai merangkai kata menjadi sebuah makna
- Saya menulis untuk keabadian. Untuk akhirnya bisa dikenang oleh anak kita (minimal) bahwa ibunya pernah menulis tentang mereka
- Saya menulis untuk memperoleh kebermanfaatan hidup. Apalagi saat ini cukup sulit bagi saya berkegiatan di luar rumah. Melalui menulis, saya bisa menjangkau manusia di ujung bumi sekalipun. Saya ingin sebisa mungkin menulis sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang
- Saya menulis untuk intropeksi diri. Ketika saya menuliskan seorang tokoh yang baik, bukan berarti saya sebaik itu. Justru tokoh itu adalah sebagai pengingat saya untuk menjadi pribadi yang lebih baik
- Saya menulis untuk belajar lebih bersyukur. Meskipun tulisan saya hanya sebuah karangan singkat, namun saya tetap melakukan riset. Di tengah pencarian data pendukung tersebut, ternyata saya menemukan banyak sekali keberkahan yang sudah saya dapatkan namun luput dari rasa syukur saya selama ini. Semakin menulis dan menggali data, semakin saya seperti dipaksa untuk mensyukuri nikmat-Nya.
Masih
banyak sekali yang harus dipelajari
Sejak kecil saya tidak pernah mengenyam
pendidikan tulis-menulis. Saya menulis karena saya suka. Saya jadikan setiap
tulisan menjadi ajang berlatih melemaskan otot-otot jari. Namun, menulis tidak
sekedar menuliskan kata demi kata merangkai sebuah kalimat. Menulis juga
masalah bagaimana kita menggali ilmu untuk terus memperbaiki karya.
Sejauh ini saya menggali ilmu menulis dari:
- Membaca banyak buku. Ya, membaca memang hobi saya dari kecil. Ketika teman-teman masih membaca komik, saya sudah memilih membaca novel karya Mira W., N. H. Dini, Agatha Christie. Satu minggu bisa melahap lebih dari satu novel. Dari membaca, kita bisa memperkaya ragam diksi dan menebak alur pemikiran dari sang penulis. Tanpa membaca, tentulah sulit untuk bisa menulis
- Saat ini, dengan kegiatan domestik yang tak ada habisnya ditambah lagi harus membersamai satu anak balita, membaca menjadi terasa tidak semudah itu. Harus benar-benar mencuri waktu bahkan untuk satu halaman saja. Namun, tak mengapa. Satu halaman lebih baik daripada tidak dilakukan sama sekali
- Mengikuti kelas online kepenulisan. Betapa majunya teknologi saat ini. Bahkan belajar saja dapat dilakukan secara online. Membuka kesempatan bagi saya yang tidak bisa banyak keluar rumah untuk tetap belajar. Tugas-tugas yang diberikan membuat saya bisa terus berlatih. Bonusnya, editor akan mengkritisi tulisan saya agar ke depannya saya bisa lebih baik dalam berkarya
- Tetap terus menulis dan menulis. Bergabung dengan ODOPfor99days membuat saya bersemangat utnuk terus menulis karena suntikan semangat dari anggota lain. Saya menjadikan menulis seperti kegiatan rutin agar gairah membuat karya tetap berkobar di dalam diri.
Impian
Ketika tulisan ini dibuat, saya meminta tolong
untuk diaminkan oleh siapa saja yang membaca 😀
Saya bermimpi untuk menjadi penulis yang
bermanfaat. Yang setiap goresan penanya mengandung manfaat bagi banyak orang.
Sekalipun dibawakan dengan gaya fiksi.
Saya sedang membuat naskah terpanjang yang pernah
saya buat. Sebelumnya saya hanya berkutat di cerita pendek atau malah hanya flash fiction. Kali ini saya ingin membuat
sebuah novel. Jika diijinkan oleh Allah, saya bermimpi naskah ini diterbitkan
oleh penerbit mayor agar menjangkau kalangan luas.
Saya hanya bisa melangsungkan hobi ini satu
hingga dua jam saja setiap harinya. Sehingga riset saya pun harus berjalan cukup
lama. Jika Allah mengijinkan, mimpi saya novel dapat diterima penerbit di tahun
2018 ini. Target saya bukan diwaktu penerbitan sebenarnya, namun ada pada
konten cerita yang saya buat. Saya benar-benar berdoa agar apa yang saya
tuliskan membawa manfaat bagi banyak orang. Semoga terwuju. In sya Allah.
*Tulisan ini dibuat untuk memenuhi Nice Home Work #1
Matrikulasi IIP batch #5*
No comments:
Post a Comment