Wednesday, January 24, 2018

nhw #1: Jika Memang Benar Menuntut Ilmu Boleh Sampai Tua, maka Menulis Adalah yang Ingin Kugali Hingga Tutup Usia



"Naskah kamu nggak bagus, nggak terstruktur, nggak ada nilai jual."

Kalimat di atas adalah satu dari banyak kalimat penolakan ketika saya mengikuti lomba menulis. Sekali lagi, satu dari banyak penolakan. Entah berapa kali saya mengikuti lomba dan entah berapa kali saya mengalami penolakan. Tak terhitung. Namun, saya tetap bertahan dalam dunia ini. Disitulah saya menyadari bahwa menulis adalah gairah dalam hidup saya.

Mengapa saya menyukai menulis?
Saya menyukai dunia tulis menulis sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Pikiran saya dalam mengolah kata dan gambar cenderung sedikit berbeda dari teman-teman kala itu. Bagi kebanyakan teman, buku paket Lancar Berbahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka adalah seonggok buku yang wajib dipelajari. Bagi saya lain. Tokoh Ani dan Budi di dalamnya, berkelindan di dalam otak membentuk suatu premis yang asik untuk saya pikirkan sendiri. Contohnya: membayangkan betapa bahagianya Ani hidup di tengah keluarga yang damai nan bersahaja. Atau bagaimana Budi bisa senang dalam permainannya yang sederhana. Imajinasi saya yang terkesan "liar" itu membuat menulis menjadi salah satu pelampiasan. Jika tidak dilampiaskan, maka saya menjadi banyak melamun. Singkatnya, menulis adalah kegemaran saya yang bisa dijadikan sebagai obat anti-melamun.

Bagaimana keseriusan saya dalam menekuni gairah di dunia tulis-menulis?
Yang paling pertama adalah saya selalu mengerjakan tugas mengarang dengan suka cita. Tidak peduli berapa angka yang diberikan oleh guru. Saya hanya peduli bahwa saya senang melakukannya. Kesenangan tanpa merasa terbebani saya rasakan selama memakai seragam putih-merah.
Beranjak remaja, saya mulai terpapar dengan namanya majalah anak muda. Sebut saja Gadis, Kawanku, Hai (padahal ini majalah cowok) adalah majalah yang sudah akrab bagi mata saya setiap bulannya. Sebagian besar majalah itu saya baca dari hasil meminjam seorang kawan. Karena harganya terlalu mahal.

Nah, ketika inilah awal mula saya meberanikan diri mengikuti kontes cerita pendek. Jika lolos, maka akan dimuat oleh redaksi majalah remaja tadi.

Mulus? Tentu tidak. Bahkan untuk menerjemahkan panduan-panduan penulisan saja saya tidak bisa. Seperti ketika majalah Gadis mewajibkan naskah diketik menggunakan spasi dua. Saya tak paham maksudnya. Alih-alih mengatur jarak antar baris, saya justru menambah dua spasi untuk tiap kata. Singkat kata, tak pernah sekalipun cerita pendek saya terpampang.

Ketika SMA saya menjadi gemar mengikuti lomba karya ilmiah. Terlibat dalam proyek kecil-kecilan membuat saya tahu bahwa menulis adalah bagian yang tak terpisahkan dari penelitian. Meskipun bekerja secara berkelompok, namun bagian menulis seperti sudah dipatenkan sebagai tugas saya. Saya menikmati betul ketika kata-kata menjadi sebuah irama dalam menceritakan sebuah data. Saya menjadi lupa kegemaran terdahulu menulis fiksi. Beberapa kali ditolak, akhirnya naskah kami diterima sebagai finalis dan berakhir menjadi pemenang. Hingga menjadi mahasiswa, saya masih menekuni karya ilmiah ini. Selain menikmati dalam membaut lapoannya, hadiah yang didapat pun bisa menyambung biaya perkuliahan. Setidaknya untuk membeli buku dan fotocopy.

Penulisan karya ilmiah berakhir, seiring dengan berakhirnya status mahasiswa. Saya pun mencoba kembali peruntungan dalam lomba menulis fiksi yang informasinya didapatkan dari Facebook. Berkali-kali ditolak. Berkali-kali mendapat kata penolakan yang-kalau boleh jujur sih-menyakitkan. Tidak ada hasil yang berarti, lalu entah mengapa saya berhenti. Sejak itu seakan mati suri. Tak muncul lagi keinginan saya untuk mengikuti lomba.

Titik Balik
Meskipun tak lagi ingin mengikuti lomba, namun dalam benak, saya tetap ingin menghasilkan sebuah karya dari tulisan. Berkali-kali gagal dan mendapat kritikan pedas membuat saya maju-mundur. Saya juga bingung mau memperbaiki kesalahan dari mananya. Saya belajar menulis secara otodidak tanpa pendamping. Ketika naskah ditolak, saya bingung harus mempebaiki dengan cara seperti apa. Bingung yang tidak berkesudahan justru membuat saya tidak melakukan apapun. I hate that!
 
Hingga tibalah di tahun 2015. Di tahun itu saya sudah menjadi seorang ibu dari anak laki-laki bernama Azka. Di tahun itu pulalah saya mengenal sebuah platform yang sedang betul-betul hits di media sosial. Namanya Hipwee. Beda dengan saat ini, siapa saja boleh menulis di Hipwee. Di awal berdirinya, tidak semua naskah dapat ditampilkan. Kita masih harus menulis naskah di Microsoft Word dengan berbagai ketentuan. Naskah yang tak berkabar hingga 2 minggu lamanya, dinyatakan tidak layak terbit.

Saya memberanikan diri untuk menulis sebuah artikel. Azka adalah inspirasi tulisan saya kala itu. Setelah semua syarat terpenuhi, tibalah saatnya pengiriman. Sebelum tombol send saya tekan. Saya sempat bernegosiasi dengan Allah. “Ya Allah, jika tulisan ini tidak lolos. Saya akan berhenti menulis. Mungkin Engkau telah sediakan sesauatu yang lebih baik dari ini.” Bismillah, tombol send ditekan.

Satu minggu… dua minggu… tiga minggu tak berkabar. Ah sudah lah, artinya memang saya harus berhenti menulis.

Sampai akhirnya ada seseorang yang menghubungi lewat e-mail. Beliau meminta maaf tidak dapat menayangkan artikel saya karena Hipwee sedang ada perubahan sistem. Jika sistem sudah dibenahi, maka artikel saya bisa diterbitkan. Allahuakbar.

Singkat cerita sudah empat artikel saya ditayangkan di Hipwee. Dua artikel pertama saya, sudah mendapat share lebih dari 500 orang. Artinya, in sya Allah yang membaca jumlahnya lebih banyak dari itu. Satu artikel terakhir, Alhamdulillah diapresiasi oleh Hipwee menjadi salah satu artikel terbaik ketika momen hari ibu yang lalu.

Bergabung di Institut Ibu Profesional juga membuka banyak peluang dalam dunia penulisan saya. Salah satunya dari kulwapp yang bertajuk “Me time yes, depresi no.” Berkat mengikuti kulwapp tersebut, saya bergabung dengan ODOPfor99days. Tak lama setelah saya bergabung, muncul pengumuman perlombaan flash fiction yang nantinya akan menjadi anak kedua ODOPfor99days setelah buku berjudul “33 Kisah Me Time.” Tak disangka-sanga, dua naskah saya lolos untuk dibukukan. Flash fiction adalah aliran baru bagi saya. Sangat baru. Senangnya ketika tulisans saya diapresiasi. Ditambah lagi saat itu belum lama saya bergabung dengan IIP, sudah diberi Allah kesempatan untuk dapat sedikit berkontribusi pada buku yang membawa namanya.

Jika saya menyerah kala itu, apakah ada momen seperti ini? Saya tidak tahu pasti. Namun, mencoba bangkit dari terjatuh memberitahu saya bahwa menulis memang benar-benar jalan hidup saya yang harus lebih banyak lagi dipelajari dan ditekuni.

Motivasi menulis
Ada saat dimana saya ingin menulis untuk kesenangan. Yaitu ketika Sekolah Dasar. Beranjak SMP, saya ingin menulis agar ingin dilihat karyanya. Ketika SMA keseriusan dalam membuat karya ilmiah, sedikit banyak membawa ada motif ekonomi di dalamnya.

Motivasi-motivasi ini terus berubah seiring bertambahnya usia dan pengalaman.

Tere Liye pernah berkata, “Memang sah-sah saja kita menulis agar menjadi terkenal, menjadi kaya raya, menjadi keren, menjadi idola dari orang-orang. Tetapi dengan motivasi seperti itu, energi kita akan terkuras habis.”

Iya, saya merasakan apa yang beliau katakan.

Ketika menulis adalah untuk kepentingan pribadi, maka akan sangat melelahkan ketika yang terjadi justru sebaliknya. Seperti yang saya tulis di atas, saya malah berhenti setelah berkali-kali ditolak mentah-mentah naskahnya. Karena apa? Karena saya lelah tidak diapresiasi. Saya lelah ketika keinginan menjadi keren itu tak terwujud. Saya kecewa berlebih ketika uang hadiah yang saya dambakan ternyata gagal didapat.

Maka dari itu sebelum akhirnya menulis untuk Hipwee di tahun 2015, saya merubah motivasi dalam menulis:

  • Saya menulis karena memang saya mencintai merangkai kata menjadi sebuah makna
  • Saya menulis untuk keabadian. Untuk akhirnya bisa dikenang oleh anak kita (minimal) bahwa ibunya pernah menulis tentang mereka
  • Saya menulis untuk memperoleh kebermanfaatan hidup. Apalagi saat ini cukup sulit bagi saya berkegiatan di luar rumah. Melalui menulis, saya bisa menjangkau manusia di ujung bumi sekalipun. Saya ingin sebisa mungkin menulis sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang
  • Saya menulis untuk intropeksi diri. Ketika saya menuliskan seorang tokoh yang baik, bukan berarti saya sebaik itu. Justru tokoh itu adalah sebagai pengingat saya untuk menjadi pribadi yang lebih baik
  • Saya menulis untuk belajar lebih bersyukur. Meskipun tulisan saya hanya sebuah karangan singkat, namun saya tetap melakukan riset. Di tengah pencarian data pendukung tersebut, ternyata saya menemukan banyak sekali keberkahan yang sudah saya dapatkan namun luput dari rasa syukur saya selama ini. Semakin menulis dan menggali data, semakin saya seperti dipaksa untuk mensyukuri nikmat-Nya.

Masih banyak sekali yang harus dipelajari
Sejak kecil saya tidak pernah mengenyam pendidikan tulis-menulis. Saya menulis karena saya suka. Saya jadikan setiap tulisan menjadi ajang berlatih melemaskan otot-otot jari. Namun, menulis tidak sekedar menuliskan kata demi kata merangkai sebuah kalimat. Menulis juga masalah bagaimana kita menggali ilmu untuk terus memperbaiki karya.

Sejauh ini saya menggali ilmu menulis dari:

  • Membaca banyak buku. Ya, membaca memang hobi saya dari kecil. Ketika teman-teman masih membaca komik, saya sudah memilih membaca novel karya Mira W., N. H. Dini, Agatha Christie. Satu minggu bisa melahap lebih dari satu novel. Dari membaca, kita bisa memperkaya ragam diksi dan menebak alur pemikiran dari sang penulis. Tanpa membaca, tentulah sulit untuk bisa menulis
  • Saat ini, dengan kegiatan domestik yang tak ada habisnya ditambah lagi harus membersamai satu anak balita, membaca menjadi terasa tidak semudah itu. Harus benar-benar mencuri waktu bahkan untuk satu halaman saja. Namun, tak mengapa. Satu halaman lebih baik daripada tidak dilakukan sama sekali
  • Mengikuti kelas online kepenulisan. Betapa majunya teknologi saat ini. Bahkan belajar saja dapat dilakukan secara online. Membuka kesempatan bagi saya yang tidak bisa banyak keluar rumah untuk tetap belajar. Tugas-tugas yang diberikan membuat saya bisa terus berlatih. Bonusnya, editor akan mengkritisi tulisan saya agar ke depannya saya bisa lebih baik dalam berkarya
  •  Tetap terus menulis dan menulis. Bergabung dengan ODOPfor99days membuat saya bersemangat utnuk terus menulis karena suntikan semangat dari anggota lain. Saya menjadikan menulis seperti kegiatan rutin agar gairah membuat karya tetap berkobar di dalam diri.

Impian
Ketika tulisan ini dibuat, saya meminta tolong untuk diaminkan oleh siapa saja yang membaca 😀

Saya bermimpi untuk menjadi penulis yang bermanfaat. Yang setiap goresan penanya mengandung manfaat bagi banyak orang. Sekalipun dibawakan dengan gaya fiksi.

Saya sedang membuat naskah terpanjang yang pernah saya buat. Sebelumnya saya hanya berkutat di cerita pendek atau malah hanya flash fiction. Kali ini saya ingin membuat sebuah novel. Jika diijinkan oleh Allah, saya bermimpi naskah ini diterbitkan oleh penerbit mayor agar menjangkau kalangan luas.

Saya hanya bisa melangsungkan hobi ini satu hingga dua jam saja setiap harinya. Sehingga riset saya pun harus berjalan cukup lama. Jika Allah mengijinkan, mimpi saya novel dapat diterima penerbit di tahun 2018 ini. Target saya bukan diwaktu penerbitan sebenarnya, namun ada pada konten cerita yang saya buat. Saya benar-benar berdoa agar apa yang saya tuliskan membawa manfaat bagi banyak orang. Semoga terwuju. In sya Allah.

*Tulisan ini dibuat untuk memenuhi Nice Home Work #1 Matrikulasi IIP batch #5*

No comments:

Post a Comment