Saturday, September 8, 2018

Hantu itu Bernama Internet

Assalamualaikum,

Siapa yang sekiranya jempolnya sudah ketagihan oleh screen gadget? Angkat tangan!

Saya dibilang ketagihan sih tidak, namun sering bingung kalau HP lupa ditaruh mana. Lha sama saja dong ya, hahaha. Saya memang bukan tipe yang harus membawa HP kemana-mana apalagi jika pergi dengan suami. Kalau pergi sendiri atau bersama anak, saya wajib membawa. Siapa tahu ban bocor atau motor mogok ya kan?

Saya generasi 90-an yang artinya menjadi saksi dari peralihan zaman serba konvensional menjadi digital. Saya mengalami yang harus membuat janji dengan teman sebelum pulang sekolah. Berdasar kepercayaan kami berkumpul di tempat dan jam yang sudah ditentukan. Kalau saja ada salah satu yang tidak datang dan tidak memberi kabar, ya sudah siap saja yang lainnya pulang dengan rasa kecewa. Namun, hal seperti ini jarang sekali terjadi jika tidak ada kendala besar seperti kendaraan mogok, sakit, atau orang tua mendadak tidak bisa mengantarkan. Kan belum ada ojek online, hehe.

Sekarang, hal tersebut sudah tabu dilakukan. Janjian bisa kapan saja dan memohon maaf jika terlambat semaunya. Mudah. Tinggal ketak-ketik. Selama ada jaringan dan kuota, pesan pasti tersampaikan. Tidak hanya berkomunikasi, namun juga mencari informasi. Tidak perlu membeli buku atau datang ke tempat tertentu. Hanya siapkan jaringan dan kuota semua bisa didapat dalam genggaman.

Menyaksikan pembicara kelas dunia membagikan ilmunya, apakah harus bertemu atau mencari majalah yang membahas diri mereka? Tidak perlu. Kita hanya perlu mengunjugi TED di Youtube. Beres! Mendadak ingin masak sesuatu tapi bingung resepnya, apa harus pergi dulu ke toko buku dan mencari buku-buku masakan? Tidak perlu. Kita hanya perlu mengunjungi Cookpad. Beres juga! Bingung suatu hal, buka HP cari Chrome. Selesai! Terharu saya, menjadi saksi dari awal munculnya segala kemudahan secara eksponensial.

Nah, masalahnya adalah terkadang internet tidak selalu menjadi solusi positif dari segala gundah hati kita. Tidak jarang yang terjadi justru sebaliknya. Saya pernah menulisnya dalam artikel Internet: Inspirasi atau Intimidasi?

Kali ini saya ingin menulis lebih dalam lagi berdasar pengalaman pribadi. Sila jika ingin menjadikannya bahan bacaan, namun saya mohon untuk tidak menjadikannya sebagai referensi atau rujukan. Jika cocok dan baik bagi Anda sila gunakan. Jika sebaliknya, tutup artikel ini dan tidak perlu dipikirkan lagi. Oke?

Sebagai ibu dari satu anak, maka informasi yang dicari adalah seputar perempuan, rumah tangga/keluarga, tumbuh-kembang anak, pendidikan, keuangan, dan aktualisasi diri. Kalau saya mencari informasi per kasus. Awalnya memang menuju Google, namun jika sudah bosan saya masuk ke sosial media. Dimulai lah masalah milenial. Rumput tetangga selalu lebih hijau.

Anak si A sudah bisa ini dan itu, suami si B care nya minta ampun, pendidikan si C yang terus melesat, posisi pekerjaan si D yang sudah di atas, keluarga si E yang baru saja membangun rumah, mobil si F yang canggih bukan kepalang, dan si G yang selalu jalan-jalan ke luar negeri.

Sementara anak kita masih suka mengacak-acak rumah, disuruh mandiri sulitnya bukan main. Suami kita terlalu sibuk dengan pekerjaannya, hingga tiba di rumah yang tersisa hanya lelah. Ijazah pendidikan yang kita tempuh susah payah mangkrak di lemari paling belakang. Yang lain sudah jadi atasan, sementara kita selalu jadi perempuan dasteran. Sudah menabung dan pengiritan tetapi rumah tetap saja mengontrak. Yang lain bisa jalan-jalan dengan AC sebagai penyejuk, sementara kita selalu berusaha menutupi anak kita dari panasnya matahari atau lebatnya hujan karena yang dimiliki hanyalah motor. Yang lain jalan-jalan, kita harus rela hanya jalan di tempat.

Pernah mengalami? Saya pernah, tapi untungnya sebentar saja. Alhamdulillah. Bukan karena saya hebat, tetapi karena Allah mempertemukan saya dengan orang-orang yang tepat. Bagaimana langkah-langkahnya? In sya Allah saya jabarkan satu per satu. Semoga tidak ada yang terlewat.

1. Temukan misi hidup Anda

Susah ya? Iya susah. Mengutip kata Pak Dodi Mariyanto penggagas Padepokan Margosari, "Misi itu bukan direka tapi ditemukan." Untuk menemukan ini saya benar-benar bertanya sejak lamaaaa sekali. Kalau tidak salah, saya bertanya tentang ini sudah sejak SMP namun benar-benar ditetapkan setelah anak saya usianya 3 tahun. Pertanyaan saya kala itu, "Aku ini sebenernya punya bakat apa sih?" Karena sedari kecil, keinginan saya untuk ikut ini dan itu selalu disetujui orang tua, selama kegiatan tersebut mudah dan murah. Mudah teknis pengantarannya dan murah biayanya. Akhirnya saya bingung. Paduan suara, iya. Menari tradisional, iya. Menari modern, iya. Melukis, iya. Bahasa arab, iya. Organisasi, iya. Karya ilmiah, iya. Olah raga, iya. Lalu, harus memilih yang mana?

Kemudian segala kegiatan itu saya breakdown, hampir semuanya yang saya lakukan menghasilkan hasil yang average alias rata-rata. Hanya satu yang benar-benar bersinar yaitu karya ilmiah. Saya mulai menulis karya ilmiah tahun 2006 akhir. Tidak butuh waktu lama. Tahun 2007 saya dan tim menjuarai karya ilmiah dari tingkat regional sampai Nasional tiga kali dan semuanya juara satu. Tahun 2008, kemenangan tahun sebelumnya membuat kami bisa mewakili Indonesia. Berkat kejuaraan yang saya dapat tersebut, saya juga dibebaskan dari beban tes masuk Universitas Gadjah Mada. Tahun 2009-2011, proposal Program Kreativitas Mahasiswa saya masuk tiga kali pendanaan.

Belum sampai disitu. Kemudian dari kejuaraan yang sudah saya dapat, saya putar ulang. Saya ingat-ingat lagi, apa peran terbesar saya dalam kelompok. Menulis! Yak, seluruh proposal yang dimenangkan kelompok 90% adalah tulisan saya. Yang lain juga turut andil namun sedikit karena memiliki kemampuan di bidang lain. Saya tengok lagi. Ternyata saya memang suka menulis dari Sekolah Dasar.

Seiring dengan mengikuti perkuliahan matrikulasi bersama Institut Ibu Profesional, maka saya menyimpulkan bahwa misi hidup saya ini bisa ditempuh dengan cara menulis. Tapi apakah menulis ini misi hidup yang sesungguhnya? Bukan. Saya merefleksi diri lagi dan lagi. Saya dapati bahwa saya selalu mencari cara bagaimana menjadi manfaat bagi orang lain. Saya selalu terinspirasi dari tayangan orang-orang yang menemukan sistem, kegiatan, atau membentuk komunitas yang membantu banyak orang. Saya selalu terkagum-kagum hingga bergumam, "One day, I'll be like those persons."

Dari sini saya dapat dua hal: 1) menulis, 2) bermanfaat bagi banyak orang

2. Temukan jalan dalam meraih misi hidup

Awalnya saya ingin seperti banyak penulis hebat yang bukunya terpampang di rak buku best seller. Terutama untuk genre fiksi. Saya suka mengarang dan saya mengira disitulah saya bisa bermanfaat. Memberi cerita berkesan dengan selimut "khayalan". Mulailah saya mencari kelas-kelas menulis yang dulu saya ingingkan namun tidak pernah diikuti karena tidak memiliki dana. Dimulai dari kelas singkat dengan biaya terjangkau sampai akhirnya dengan seizin suami saya mengikuti kelas menulis privat.

"Mau kelas fiksi atau non-fiksi, Mbak?" tanya mentor saya.

"Saya sih punya dua ide, Mbak. fiksi dan non-fiksi."

Saya menjelaskan semua ide cerita fiksi saya dengan gamblang sampai pada alur ceritanya dan tokoh-tokoh yang ingin saya masukkan. Sementara, saya hanya menjelaskan sedikit saja ide naskah non-fiksi.

"Menurut saya bagus yang non-fiksi, Mbak. Bisa kita usahakan semoga ada penerbit mayor yang menerima."

Berhubung mentor saya jauh lebih berpengalaman, maka saya ikuti saja saran beliau. Dibuatlah outline dan sedikit demi sedikit menulis isi bukunya. Genre yang saya ambil adalah non-fiksi motivasi. Saya temukan sebuah kenyamanan dalam menyelesaikan tiap lembar dari awal hingga penutup.

Di tengah penulisan, tugas perkuliahan matrikulasi tetap berlangsung dan kami diminta mengikuti tes Potensi Kekuatan. Tahukah Anda? Bahwa salah satu potensi kekuatan saya adalah motivator. Pantas saja, saya sangat menikmati setiap prosesnya dalam menyusun buku non-fiksi solo pertama saya ini.

Ketika naskah sudah selesai ditulis dan masuk proses pengajuan ke penerbit, saya mencoba untuk membuat novel. Satu hal yang saya inginkan dari dulu. Menjadi penulis novelk! Saya susun outline dan semuanya. Saya mulai mengarang bab satu dan selanjutnya. Hampa. Tidak saya temukan kenikmatan meramu novel senikmat meramu buku non-fiksi saya tadi.

"Pi, kok mami nyusun novel kayaknya nggak menikmati ya. Kayak malah ada rasa tertekan gitu karena nggak menemukan alur atau terlalu banyak buntu ide. Nggak kayak kemaren pas nyusun naskah non-fiksi. Kayaknya bisa bahagia dan lancar banget," keluh saya kepada suami. Memang betul. Ditengah penyusunan novel saya justru merasa tertekan. Seperti menghantui siang dan malam. Apalagi jika gagal menyusun alur cerita. Bangun pagi bukannya merasa bersemangat meramu kata, namun menjadi seperti tertekan karena apa yang saya harapkan tak juga kunjung menjadi kenyataan.

"Ya udah, buat apa diterusin?"

"Iya, kali ya. Yang Mami lihat keren di luaran sana belum tentu buat cocok diri Mami ya?"

"Iya lah."

Setelah percakapan itu, saya merelakan bahwa tidak lagi berusaha untuk membuat novel. Melainkan lebih serius dalam menulis topik-topik non-fiksi. Hobi membaca novel ternyata tidak berbanding lurus dengan gairah saya menulis hal yang sama. Bukankah sebaiknya meninggikan gunung dengan bahagia, daripada bersusah-payah meratakan lembah?

Saya masih menulis cerita fiksi memang, namun hanya yang tergolong flash fiction atau cerita mini. Menulis karangan super pendek seperti ini layaknya hiburan ketika belum ada topik yang bisa saya tuliskan panjang dan lebar.

Pada poin ini, saya mendapatkan bahwa dalam ikhtiar menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama saya harus konsisten untuk menulis topik-topik non-fiksi. In sya Allah.

Selain itu, saya juga berusaha untuk berkontribusi di komunitas yang saya ikuti. Hanya dua komunitas saja saat ini terkait waktu, tenaga, dan skala prioritas. Alhamdulillah saya dipercaya sebagai Manager Online Komunitas Ibu Profesional area Kalimantan Timur dan Fasilitator pada komunitas lokal Bunda Belajar Sangatta. Dua komunitas ini memegang misi berbagi dan melayani, sehingga sejalan dengan misi hidup saya. Menjalankan banyak kegiatan dengan misi yang sama, maka akan memudahkan kita. Meminjam lagi perkataan Pak Dodik Meriyanto, "Dengan misi yang sama maka semua kegiatan dapat kita jalankan dalam satu tarikan nafas." Ya, betul. Tidak ada rasa tertetekan dan in sya Allah tidak ada pihak yang merasa diabaikan.

Bahagia!

3. Bahagia lah dengan misi hidup Anda

Jika Anda telah menemukan misi hidup bersama dengan jalan untuk meraihnya, maka berusahalah untuk konsisten dengan itu semua. Dengan begitu, kita seperti mengenakan kaca mata kuda. Tidak melihat ke kanan dan ke kiri. Tidak membandingkan pencapaian orang lain. Di sisi lain, tidak juga menyesalkan keputusan yang telah kita ambil. In sya Allah terhindar dari rasa iri.

Sudah sibuk dengan usaha untuk diri sendiri dan keluarga, lantas apakah masih ada waktu mengurus hidup orang lain? Lagipula, apa yang terlihat di layar belum tentu seratus persen sama dengan kehidupan nyatanya kan ya.

4. Bersinergilah dengan keluarga

Ketika kita dipersatukan dalam ikatan suci pernikahan, maka sesungguhnya ada dua potensi yang sedang digabungkan oleh-Nya. Sinergikanlah misi hidup kita dengan pasangan. Jika pasangan belum menemukannya, maka bantulah. Carilah sesuatu yang membuat matanya berbinar.

Setelah mengalami perjalanan panjang, ditemukan bahwa saya dan suami selalu menyukai membuat karya dan berusaha bermanfaat bagi sesama. Maka, hal ini kami gunakan juga sebagai misi keluarga. Harapannya in sya Allah anak kami pun diasuh dan dibesarkan di bawah sebuah payung bernama misi keluarga. Dengan cara ini pula, kami berharap bisa membantu anak kami menemukan misi hidupnya sendiri.

Satu kesamaan misi ini memudahkan saya sebagai istri dalam beraktivitas. Suami memang tidak mengizinkan saya bekerja di ranah publik. Namun, suami mendukung penuh jalan saya di ranah komunitas. Alhamdulillah. "Selama tidak membuat tertekan dan bisa membagi waktu ya jalan saja," katanya.

Tidak ada lagi kegalauan atas keputusan untuk penuh dalam ranah domestik sebagai ibu rumah tangga. Karena menjadi ibu rumah tangga pun bisa profesional. Ide bermunculan setiap harinya dan ingin selalu untuk dijalankan. Ternyata dengan menghabiskan sebagian besar waktu di rumah tidak terbukti membuat otak tumpul. Ternyata dengan di rumah, diri ini masih bisa sedikit menebar manfaat. Alhamdulillah.

Selain itu, musnahnya keinginan untuk turut dalam momwar: Manakah yang lebih baik? Ibu rumah tangga atau ibu bekerja. Toh semua ibu pasti bekerja. Hanya berbeda saja ranahnya. Ada yang memilih domestik dan ada juga yang memilih publik. Semua mengandung konsekuensi yang sama.

Semoga Allah memudahkan semua jalannya. Bagi saya dan bagi kita semua. Saya mohon didoakan ya.

No comments:

Post a Comment