Saturday, September 15, 2018

Komunikasi Produktif Hari ke-1

Bismillahirohmanirohim,

Catatan ini dibuat berdasarkan kegiatan hari Selasa, 4 September 2018. Tepat hari pertama dibagikannya materi mengenai komunikasi produktif.

Qodarullah anak kami, Azka (3y 8m), sedang sakit. Begitu pula dengan ayahnya. Sudah sejak tanggal 2 September 2018 sebenarnya. Berhubung sudah tiga hari, badan saya rasanya sakit semua, hahaha. Hari Senin saya sempat terpancing emosi. Krn cucian piring numpuk tak karuan. Mainan dimana-mana dan tidak ada lagi yang membereskan kecuali saya. Karena satu-satunya asisten (suami.red) juga sedang sakit. Belum lagi hidung Azka yang mulai berdarah dan ditambah dia menjadi susah makan. Tapi ada satu momen di hari itu yang akhirnya mengurangi emosi saya.

“Ayo Nak, makan!”

“Gak mau, kenyang.”

“Lah tadi makan apa? Belum makan apa-apa kok sudah kenyang?” kata saya dengan intonasi tinggi dan dibarengi dengan omelan yang agak panjang. Sebenarnya saya ngomel untuk diri saya sendiri tapi karena bersuara otomatis Azka mendengar.

Melihat saya marah, dia berkata, “Kok kemaren ketawa?”

“Siapa yang ketawa?” masih emosi.

“Padahal kemaren Mami sama Azka ketawa lho. Kok sekarang marah.”

Hening.

Ibu manapun di dunia ini mendengar kalimat iti pasti langsung menyesal. Kemudian saya peluk dia dan menciumnya. Saya baru tersadar. Emosi seperti apapun tidak ada gunanya. Tidak merubah dia menjadi sembuh atau mengembalikan nafsu makannya. Saya pu lanjut dengan menjelaskan mengapa saya ingin dia makan.

Daripada terpancing emosi lagi, akhirnya sejak Senin malam saya sudah berniat membeli makan saja untuk hidangan keesokan harinya.

Sejak pagi saya sudah memesan makanan yang bisa dimakan dari siang hingga malam. Hanya tinggal menambah masak mendoan saja yang mudah dan cepat. Saya bisa lebih banyak menghabiskan waktu dengan Azka karena tidak diselingi racik-meracik, masak-memasak, atau cuci-mencuci. Namun, sejak bangun tidur di Selasa pagi Azka menunjukkan ibu jari kanannya seperti melepuh. Seingat saya dia tidak main yang panas-panas.

“Lho ini kenapa Nak? Kemarin pegang panci panas itu kah?”

“Bukan...bukan…sini Azka ceritain.”

Lalu dia membawa saya ke depan sebuah kayu, yang sejak kemaren lusa diambilnya dari salah satu polybag tanaman kami ke dalam rumah.

“Waktu Azka pegang ini, terus kayunya nusuk ini.” dia menunjuk kayu lalu menyodorkan ibu jarinya.
Segera saya tekan luka itu namun tidak terlihat ada kayu halus yang tertinggal. “Sakit kah rasanya?” tanya saya. Azka membalasnya dengan anggukan.

“Oke nanti malam setelah Papi pulang kita ke dokter.”

“Nanti jari Azka dipotong, trus dikeluarin kayunya, terus dijahit lagi?”

“Nggak lah. Mungkin nanti dokter ngeluarin nanah ini terus Azka dikasih salep,” saya memegang ibu jarinya sambil memeragakan ccara dokter melakukan tindakan.

“Sakit nggak?”

“Sakit. Tapi sebentar saja. Itu satu-satunya cara supaya Azka nggak kena infeksi. Dulu waktu mami kecil, Mami pernah main di sungai. Besoknya kaki mami bengkak. Ternyata ada batu kecil masuk. Oma akhirnya bawa Mami ke UGD. Kulit kaki Mami dibuka sedikit untuk diambil batunya. Sakit sedikit. Tapi sembuh.” Karena saya pernah mengalami hal yang sama, maka saya bisa bercerita bahwa memang rasa sakitnya sebentar.

Ibu saya, yang tidak pernah belajar parenting pernah berpesan sejak saya masih gadis. “Sama anak itu harus jujur. Bilang kalau disuntik sakit, tapi kalau mau sembuh memang harus disuntik. Bilang kalau obat memang pahit, tapi ini yang membantu menyembuhkan. Mama kayak gitu sama anak-anak mama. Makanya nggak ada satupun yang takut dokter atau obat. Kalau mau anaknya jujur,orang tuanya nggak boleh bohong” Pesan itu saya ingat terus-menerus. Jujur!

Ibu saya juga pernah bercerita, “Mama dulu membiasakan ke semua anak-anak kalau ngomong harus jelas. Nggak sambil nangis apalgi merengek. Kecuali sedang kesakitan. Kalau lagi ngomong ditunggu, didengerin walaupun belum jelas. Habis itu ditanggepin. Akhirnya semua nggak ada yang cengeng. Dan bisa menceritakan kejadian yang dialami dengan urut.”

Saya juga mengingatnya. Berbicara yang jelas, mendengarkan, dan menanggapi. Mungkin ikhtiar itulah yang menyebabkan Azka bisa menceritakan sebab luka di ibu jarinya dengan sangat jelas. Masya Allah. Malam harinya, kami pun pergi ke dokter. Benar saja, untuk mengeluarkan nanah dokter harus melakukan tidakan dengan menusukkan jarum kecil ke luka Azka.

Saya diminta memegangi kepalanya dengan arah berlawanan dari posisi berdiri dokter. Suami diminta memegangi kakinya. Dan satu perawat diminta memegangi lengan kirinya. Saya tahu bahwa Azka tertekan dengan kondisi dipegangi seperti ini. Mengingatkannya pada pemasangan infus yang sudah tiga kali dialaminya sejak usia 3,5bulan.

“Tadi di rumah Mami sudah bilang kan. Lukanya harus ditusuk supaya sembuh.”

Azka mengintip sedikit curiga kepada dokter.

“Yak sudah selesai. Hebaaat. Diem aja ya tadi. Tuh lihat, lukanya sidah nggak ada kan?”

Azka memandangi ibu jarinya, matanya terlihat takjub. Seperti melihat hal ajaib. Lalu dia memandang dokter dengan bingung. Lagi, dia melihat ibu jarinya. Kemudian melihat dokter. Berulang sampai tiga kali.

Azka diberi obat salep dan atibiotik untuk luka di tangan dan hidungnya. Hidung kanannya juga penuh luka garukan karena gatal akibat pilek. Obat lainnya adalah puyer untuk mengobati pileknya. Sambil menunggu obat, kami pun saling bercerita. Azka mengungkapkan bahwa memang sakit tapi hanya sebentar. Dia sangat senang ibu jarinya sudah tidak bengkak lagi.
Namun, tantangan selanjutnya adalah….

Minum puyer! Saya tulis di tantangan hari ke-2 ya.

Terima kasih :)

No comments:

Post a Comment