Sunday, September 2, 2018

Internet: Inspirasi atau Intimidasi????

Halo Teman-teman,

Pada tulisan kali ini, saya akan membahas sesuatu yang kelihatannya sudah menjadi makanan pokok kita tiap detik, yaitu internet. Bagi saya generasi 90an, internet merupakan hal yang baru. Bagi kami tidak terhubung dengan internet setiap hari pun belum ada masalah, bahkan sampai saya SMA sekitar tahun 2005-2008. Alasannya, sambungan internet di rumah akan memakan biaya yang besar. Solusinya, Anda pasti tau lah, "Warnet" dan saya pribadi ke warnet ini bisa sangat jarang, tergantung kebutuhan saja. Sehingga, sampai saat ini saya masih dalam fase "berdewasa bersama internet".

Dalam fase pendewasaan yang cenderung belum matang, nyatanya internet berdampak sangat signifikan di kehidupan kita sekarang. Seperti yang kita tahu, informasi mengalir deras dan kita dituntut untuk dapat memilih dan memilah supaya tidak terjerumus dalam lingkaran info yang salah atau bahkan kesesatan dalam berpikir.

Khusus bagi saya kaum "ibu-ibu", internet memang bisa menjadi sarana bertukar informasi guna mendapatkan inspirasi, namun dari pengamatan saya, yang terjadi tidak hanya pikiran menjadi terinspirasi, namun terkadang membuat terintimidasi.

Hal yang akan saya bahas selanjutnya adalah internet kaitannya dengan pola pengasuhan orang tua. Lalu-lalang status media sosial menyebarkan tips ini dan itu dalam dunia pengasuhan, tidak jarang pula pengguna sosial media ini menuliskan perkembangan anaknya yang melaju pesat. Tidak ada yang salah sih dalam hal ini, akun merea maka mereka lah yang menentukan apa saja yang ingin dibahas.

Bagi yang sering up-date di sosial media maupun yang sebatas silent reader seperti saya
penting rasanya untuk memiliki batasan sejauh apa kita boleh "baper" dari apa yang kita lihat di internet.

Pembahasan yang sama juga pernah disinggung ketika kami mengikuti webinar bersama Rumah Inspirasi. Pun banyak yang mengakui bahwa  mereka terintimidasi dari banyaknya suguhan internet yang mereka lihat. Terutama untuk orang tua dengan anak usia dini (0-6 tahun).

Sebagai contoh sederhana, seorang ibu menulisdi media sosial tentang kemajuan anaknya yang sangat pesat diusia yang terbilang sangat belia. Bagi pembaca netral, hal ini tidak masalah dan tidak menganggu sama sekali. Namun, bagi pembaca "baper" maka bukan tidak mungkin dia membandingkan dengan anaknya dan ingin anakya bisa melakukan hal yang sama. Si ibu "baper" ini pun akan membeli tools yang sama atau bahkan lebih. Pada kenyataannya, si anak tidak menyukainya dan terus menolak ajakan ibunya. Yang terjadi adalah, si ibu emosi karena sudah berinvestasi untuk anaknya, namun yang dia dapat hanya sia-sia belaka. Dan tidak jarang terjadi pemaksaan, agar ibu tidak merasa rugi sudah berinvestasi. Jaman orang tua saya yang masih sulit mengakses informasi, jarang terjadi hal semacam ini.

Contoh lainnya lagi adalah seorang ibu yang sangat rajin mencari informasi demi kemajuan buah hatinya. Biasanya yang paling sering diakses adalah Facebook, Instagram, dan Pinterest. Pastilah yang terpampang di sosial media ini sangat bagus dan terlihat keren. Maka si ibu akan menyimpan, menyimpan, dan menyimpan terus file yang bisa diunduh secara gratis. Namun, akhirnya bingung bagaimana menggunakannya, kapan waktu yang tepat, dan terkadang ada juga yang sudah disajikan dalam bentuk yang bagus ke anaknya, namun langsung ditolak mentah-mentah.

Bagi seorang ibu yang memiliki anak selalu mau mengerjakan apa yang disajikan ibunya (seperti permainan sederhana atau worksheet) perasaan dari dua ibu pada contoh di atas tidaklah dirasakan. Tetapi, saya merasakannya.

Saya cenderung hanya menjadi pembaca di sosial media. Jarang sekali up-date salah satunya karena sifat saya yang sedari dulu suka menutupi kehidupan pribadi. Saya hanya membukanya jika ditanya orang-orang terdekat. Sebaliknya, jika tidak ditanya saya akan sangat sangat sangat jarang menceritakannya. Suatu ketidaknyamanan berbagi hal pribadi kepada orang di luaran sana yang sangat sulit saya kendalikan. Meskipun ini hanya tentang sekelumit keluarga saya yang bahkan orang tidak tertarik. Seperti bagaimana anak saya belajar, bagaimana saya membangun ikatan kepada anak, bagaimana hubungan saya dan suami, ya hal-hal semacam itu lah. Ada sih dua artikel saya yang dimuat oleh Hipwee, artikel pertama ditujukan ke azka dan artikel kedua ditujukan ke suami saya. Namun, itu tidak menjadi gambaran yang nyata. Karena penulis kan ditugaskan menguras emosi pembacanya, hehehe. Bisa baca artikel saya disini dan disini.

Namun, terkadang juga saya meniru apa yang saya lihat karena memiliki perasaan ini akan bagus buat azka. Kenyataannya, azka tidak suka mengerjakan aneka worksheet dan tidak suka mainan yang diperoleh dengan cara dibeli. Justru, dia lebih suka mainan yang dihadiahkan oleh orang lain, mainan warisan dari om nya, ataupun mainan yang saya buat sendiri menggunakan barang bekas, Untuk yang terakhir ini, azka juga sering menolak ketika saya buatkan sesuatu. Contohnya saja, yang ditolak sampai detik ini adalah puzzle yang saya buat menggunakan kardus bekas air mineral. Cuma Alhamdulillah, saya belum pernah merasa "dibuatin capek-capek kok nggak suka" karena Alhamdulillahnya saya dibekali hobi crafting sehingga walaupun tidak suka, saya ambil hikmahnya yaitu bisa menjalankan hobi. dan yang saya amati sejauh ini, dimana titik saya bahagia, disitu azka juga menikmatinya. Maksudnya, ketika saya membuat sesuatu dengan gembira (karena hobi), maka azka pun menikmatinya. Dia akan ikut menggunting, ikut memegang lem, coret sana-sini, bereksplorasi dengan glitter (child safe ya), walaupun setelah jadi ya ditinggalkan begitu saja.

Berdasarkan pengalaman pribadi dan disertai tanya dengan orang yang lebih pengalaman atau ahli, saya menyimpulkan bahwa tidak penting apa itu kontennya, yang penting adalah rasa bahagianya. Kalau dalam webinar Rumah Inspirasi, mas Aar menyimpulkan dengan tiga hal: anak bahagia dengan kegiatannya, orang tua nyaman dengan anaknya, dan anak nyaman dengan orang tuanya. Jadi sekali lagi, bukan kontennya. Lagipula, kecepatan tiap anak dalam berbagai hal juga akan berbeda. Tidak ada anak yang akan unggul di segala bidang dan ini sangat tidak masalah. Daripada anak stres karena dipaksa dan orang tua stres karena merasa sudah berinvestasi, maka hal yang dapat dilakukan adalah gunakan media yang ada di rumah yang tidak memakan biaya, waktu, dan tenaga terlalu banyak. Biarlah anak yang menentukan dan lakukanlah dengan bahagia.

Dari tu semua, yang terpenting adalah, jangan membandingkan anak kita dengan anak lainnya. Cukup bandingkan dia kemarin dengan dia yang sekarang. Jika ada yang sekiranya mengganjal, tanyakan pada ahlinya. Anak kita sudah dibekali kehebatan oleh Allah. Kita ditugaskan untuk mengeluarkannya.




Salam Hangat,

Astri
(Bukan pakar parenting)

No comments:

Post a Comment