Sunday, September 2, 2018

"Iya" Sebuah Kilas Balik Masa Lalu

"Sebentar", "Nanti", "Apa lagi sih?", "Iya iya" kurang lebih itu lah kata-kata yang sering saya ucapkan ketika ibu menyuruh saya untuk sesuatu yang sederhana. Mengangkat jemuran handuk, menutup makanan yang ada di meja makan, mencuci piring, dan hal sederhana lainnya.

Jika saat balita saya sudah mengatakannya, saya tidak ingat apa alasannya. Tetapi ketika dewasa, biasanya saya mengatakan hal itu karena lagi asik dengan suatu hal. Atau ya karena malas saja karena mungkin baru pulang sekolah atau ya malas tanpa alasan yang jelas. Waktu itu saya jarang menengok ekspresi ibu ketika perintahnya ditolak, pernah sesekali dan saya menganggapnya biasa saja. Pernah juga penolakan saya ini berujung perdebatan. Bukan perdebatan yang alot sih, intinya jadi mengundang perbedaan pendapat. Kalau sudah gini jadi dongkol rasanya, setelah itu pasti saya lanjut ke kamar entah melakukan apa. Baca buku, buka-buka HP tanpa tujuan (saat itu HP saya hanya bisa untuk SMS dan telepon), atau cuma memandang eternit. Saya juga tidak tahu sebenarnya kejadian semacam itu disebabkan karena saya sedang dalam fase mencari identitas diri seperti penuturan psikolog yang saya dengar atau malah ibu saya yang sedang dalam fase mendapat cobaan.

Lalu contoh lainnya,

Masa kecil saya dilalui dengan kesederhanaan, sangat sederhana malah karena tidak jarang berada dalam kekurangan. Kami jarang sekali makan di luar. Setiap ayah atau ibu pulang dari suatu acara, pasti mebawakan snack yang memang sengaja tidak mereka makan. Lalu, sampai rumah ibu saya selalu bilang, "Semuanya dibagi tiga sama rata!"

Padahal yang dibagi tiga ini bukanlah pizza ukuran reguler atau ayam ingkung. Melainkan semacam tahu isi satu buah atau bahkan agar-agar dengan ukuran tidak lebih dari 6x6 cm. Hal pembagian ransum makanan, kalau ibu sering menyebutnya, kami lakukan bertahun-tahun lamanya. Seingat saya, sampai saya dan kakak saya mendapat pekerjaan.

Khusus untuk makanan, karena memang kami lakukan setiap hari selama bertahun-tahun tidaklah menjadi masalah. Setidaknya untuk saya pribadi. Namun, ibu juga hampir setiap hari berkata kurang lebih seperti ini:
"Kalau nyuci piring sabunnya diirit!"
"Nyuci baju pake detergent-nya jangan boros!"
"Keran itu kalau nutup yang kenceng!"
"Lampunya kok lupa terus dimatiin!"
"TV nggak ditonton dimatiin!"
"Kalo ngupas sayur itu ati-ati, biar dagingnya nggak ikut kekupas. Maneman!"
"Minyak kalo masak nggak usah banyak-banyak! Kalau belum terlalu kotor nggak usah diganti!"
"Pake tisu itu ngga di-uwel-uwel kayak gitu, boros!"
"Nggak usah banyak pergi, boros bensin!"
"Nyucinya dijadwal. Boros listrik!"
"Air pake sedikit aja, Watt-nya pompa gede!"
"Makan itu ambil secukupnya, nggak boleh ada sisa"
 Dan masih banyak lagi.

Tahu yang saya lakukan?

Saya tetap sih menjalankan perintahnya, karena saya juga berfikir belum bisa membantu dalam hal apapun termasuk ikut menyokong logistik rumah tangga. Tetapi di dalam hati, saya terus mengomel:
"Kalo sabunnya dikit mana bisa bersih"
"Kalo minyaknya dikit ya gosong"
"Ini ngupas sayur juga biar cepet"
"Ya ampun, mandi pake air seuprit mana seger"
Dan masih banyak lagi.

Saya tahu bahwa ibu saya melakukan peringatan yang berulang dan sangat masif tersebut dikarenakan memang kami tidak bisa membeli berbagai hal dalam jumlah yang berlebih. Terkadang jumlah yang cukup pun juga masih belum bisa. Yang saya tidak ketahui sampai sekarang, apakah ibu pernah melihat ekspresi saya ketika saya ngomel dalam hati. Terbesit pemikiran bahwa iya, ibu pernah melihat ekspresi saya.

Just like people said. Days are long but years are short.

Saat ini, saya bukan lagi hanya menjadi seorang anak. Saya sekarang juga sudah menjadi seorang istri dan ibu. Mengurusi hajat hidup suami dan anak adalah urusan saya setiap hari apalagi setelah memilih tidak memiliki karir di luar dan mengikuti suami hijrah ke kota yang sangat kecil. Tanpa asisten dan keluarga maupun kerabat. Secara otomatis, mulai menyiapkan sarapan, membersihkan rumah setiap hari, membayar tagihan, dan semua yang berhubungan dengan perputaran roda kehidupan rumah saya menangani langsung.
Berurusan dengan kegiatan rumah, artinya harus memiliki komitmen yang cukup besar untuk mengerjakan sesuatu yang seolah tidak ada ujungnya. Anak saya masih balita, sehingga untuk mendapatkan rumah yang rapi dan teratur membutuhkan effort yang cukup besar.

Alhamdulillah di rumah saya sekarang, kebutuhan rumah tangga sudah sesuai standar saya. Contohnya, saya orang yang cukup teratur (dan terbilang lebay) dalam penempatan. Saya menerapkan sistem, "Semua barang harus ada tempatnya". Bawang merah akan terpisah dengan bawang putih, bumbu sachet yang sudah terbuka akan terpisah dengan yang masih tertutup, sapu luar akan berbeda dengan sapu dalam, lemari pakaian saya terpisah dengan milik suami (meminimalisir banyak baju berantakan kalau diambil secara sembarangan, hehe), keranjang cucian anak terpisah dengan orang tua, semua buku harus ada rak-nya, kulkas kami penuh dengan toples karena saya sangat meminimalisir barang hanya ditaruh sembarangan, semacam itu lah. Disaat berkutat dengan urusan rumah ini, saya sering kilas balik terhadap masa kecil saya.

Waktu itu, saya mencari wortel impor  di pasar (wortel lokal disini kualitasnya kurang baik), saya membeli hanya dua buah dengan harga mencapai Rp 16.000 karena memang ketersediaan di kota kami katanya sedang kurang. Sesampainya di rumah, saya mengupas wortel dengan terburu-buru dan akhirnya banyak daging buah yang ikut terkupas dengan kulitnya. Saya berhenti sejenak dan teringat perkataan ibu, "Kalo ngupas sayur itu ati-ati, biar dagingnya nggak ikut kekupas. Maneman!".

Di rumah, saya menerapkan hanya berbelanja sekali dalam sebulan, diluar sayur dan buah. Artinya, saya yang harus memperhitungkan jumlah yang cukup untuk satu bulan karena mendisiplinkan diri sendiri agar tidak membeli sampai jatah berbelanja bulan berikutnya. Bagi saya yang memasak minimal tiga menu dalam sehari, pastilah cucian peralatan masak dan piring itu benar-benar menggunung. Waktu itu, jatah untuk belanja selanjutnya masih seminggu lagi. Sabun cuci piring sepertinya sudah diujung tanduk. Ketika itu saya teringat, "Kalau nyuci piring sabunnya diirit!".

Kota kami punya cuaca yang sangat panas, maka tidak heran semua rumah disini punya AC minimal satu buah. Azka, anak kami yang masih balita hobi sekali menyalakan AC, alasan yang sering dia ucapkan, "Panas, Mami". Hanya terkadang dia meninggalkan kamar dengan AC yang masih menyala. Saya pun bisa puluhan kali dalam sehari berkata, "Kalo keluar kamar, AC-nya dimatikan, boros. Listrik mahal".

Lalu siang tadi, disaat jam makan siang, seperti biasa saya bilang ke Azka yang sedang asik bermain, "Ayok udah jam makan siang, sekarang ke meja makan!". Azka menjawab, "Iya". Tanpa ada  embel-embel apapun. Hati saya rasanya gembira sekali. Namun, saya menjadi teringat entah berapa kali saya menolak perintah ibu saya hanya karena asik dengan suatu hal. Entah mengapa saya tidak mempertimbangkan bahwa perkataan "Iya" waktu itu bisa membuatnya terlewat gembira. Dan jika ibu melihat ekspresi saya ketika ngomel dalam hati pasti sedih rasanya.

Iya, iya, iya, akhirnya saya tahu setelah menjadi ibu. Setelah menjadi ibu, saya menyadari bahwa saya hidup dalam kesalahan bertahun-tahun lamanya.

Perkataan orang tua itu banyak benarnya, terutama "Orang tua itu pernah jadi kamu, tapi kamu belum pernah jadi orang tua!". Kita tidak akan benar-benar merasakannya sampai kita berada di posisinya.

Alhamdulillah keadaan saya sekarang ini jauh lebih mudah dibanding saat kecil. Saya yakin, kakak dan adik saya pun merasakannya. Jika kami kumpul bertiga, pasti sering membahas satu-tahu isi-dibagi-tiga-sama-rata. Dan tertawa, karena saat itu menikmati tahu isi utuh rasanya nikmat sekali, tetapi kenyataanya sekarang melihat tahu isi utuh, besar, dan bisa langsung dibeli pun belum tentu ingin.

Azka suka sekali dengan Kinder Joy, suatu hari saya dan adik melakukan video call sembari Azka menikmati telur isi coklat itu. Kemudian saya menunjukkannya kepada adik saya dan berkata, "Hal yang mustahil waktu kita kecil". Kami pun tertawa dan barangkali kami mengingat masa yang sama. Masa dimana kami sedang antre di kasir sebuah supermarket lalu memandang Kinder Joy dengan mata penuh arti, "Ini dalemnya katanya coklat pasti enak banget harganya mahal". Padahal setelah bisa membelinya, saya cuma satu atau dua kali mencicipinya ketika Azka berinisiatif berbagi coklat kesukaannya.

Waktu kecil, saya takut sekali menyisakan makanan di  piring, karena akan kena marah ayah saya, meskipun yang tersisa hanya satu suap nasi. Guna menghindarinya, saya pun hanya mengambil nasi yang sangat sedikit. Karena sudah terbiasa, biasanya sih kenyang, tetapi kalau sialnya masih lapar, maka saya akan mengganjalnya dengan banyak minum air putih. Hanya orang lain yang tahu sejauh apa rasa empati dalam diri saya. Namun yang jelas dengan pemaksaan menghabiskan makanan yang terus diulang, efek yang saya rasakan adalah menjadi lebih mudah mengamati suatu hal. Tidak tahu secara pasti dimana korelasinya, tetapi itu lah yang saya rasakan. Sesederhana mengamati bagaimana kerasnya ayah saya bekerja dan sehebat apa ibu menyiapkan lauk di atas piring.

Terlepas dari seberapa keras saya dididik, sesederhana apa hidup saya di masa lalu, sejauh apa kesulitan yang pernah kami alami. Hidup saya yang jauh lebih enak saat ini pasti tidak terlepas dari doa orang tua.  Doa-doa baik yang terlontar saat mereka berimajinasi dan membayangkan ketiga anaknya akan hidup lebih mudah.




Salam hangat,

Astri
(Penulis yang entah mengapa sering mendapat feedback emoticon menangis dari pembacanya padahal yang nulis biasa aja)









No comments:

Post a Comment