Sepertinya tanggal 13 September 2018 ini diawali pagi yang bisa disebut dengan kegagalan dalam komunikasi produktif. Mengapa? Karena saya terpancing emosi. Sebetulnya hari ini adalah jatah libur bagi suami. Artinya, Azka dan papinya bisa bermain bersama seharian penuh.
Biasanya, ketika hari libur tiba maka kami akan membersihkan rumah bersama. Atau, yah tetap saya sendiri yang membersihkan namun bebas tanpa gangguan. Terkadang saya juga menyanggupi masak menu rumit di hari-hari ini. Intinya, saya bisa mengerjakan pekerjaan domestik rumah tangga tanpa harus ada yang menarik-narik ujung baju. Pagi ini terasa berbeda. Azka dan papinya bermain di semua sudut dan meninggalkan kekacauan yang sulit saya toleransi. Dan sepertinya bagi mereka, kekacauan ini terasa biasa saja.
Contohnya, ketika Azka saya minta mandi. Dia menolak ditemani papinya. Baiklah, seperti biasa. Saya yang melakukannya. Tapi mengapa saat keluar kamar mandi, tidak ada satu pun barang yang kembali ke tempat semula. Suami saya hanya duduk-duduk dan seperti saya katakan sebelumnya. Kekacauan ini tidak masalah bagi dirinya. Begitu pula Azka. Masalah ini hanya milik saya sendiri.
Awalnya memang saya pendam. Mengingat menekan emosi adalah PR bagi saya. Namun, lama-lama saya mulai menebarkan amarah dengan mengatakan, “Duh kenapa sih, di sini berantakan. Di sana berantakan. Belum dibereskan yang sini, di sana sudah kacau.” Sebuah kalimat yang entah pangkalnya berada di mana, sehingga maksudnya pun sulit dijangkau. Sulit untuk papinya, apalagi anaknya yang masih balita.
Saya sedikit melirik suami. Dia tak menyadari lirikan saya. Saya merasa dia sedikit berpikir dan sepertinya dalam hatinya berkata, “Iya deh nanti dibantuin. Gitu aja pake marah-marah.”
“Mami marah?” kata Azka.
“Iya.”
“Nanti kita bersihkan ya,” suami saya ambil suara.
Setelah itu kami pergi ke minimarket yang tak jauh dari rumah. Sebelumnya, kami mampir sebentar ke ATM. Saya rasakan gejala sakit lambung. Deg! Bukan, ini bukan sakit lambung biasa. Ini gejala penyakit hati!
Saya tertekan karena saya punya masalah. Masalahnya adalah masalah saya bukan masalah bagi orang lain. Dan orang lain itu adalah keluarga saya. Orang terdekat saya. Saya makin tertekan. Namun…sejenak saya melakukan analogi-analogi.
Ini seperti kita sedang berada di sebuah pasar. Semua orang bergembira dan tertawa meskipun bau, berisik, becek, dan kotor. Lalu, kita datang membawa pemikiran bahwa pasar adalah mall yang bersih, dingin, diiringi musik, dan harum. Kita mengeluh. Mengapa pasar tidak seperti mall. Mengapa pasar harus berbau? Padahal mall bisa harum. Mengapa pasar becek? Padahal lantai mall selalu bisa bersih dan mengkilat. Dan sebagainya.
Apakah tempatnya salah? Apakah orang yang tertawa dan bergembira itu aneh? Jawabannya pastilah tidak. Kita menempatkan raga di tempat yang jauh dari pemikiran. Pikiran kita saja yang tidak berpadu dengan raga. Menghasilkan kekecewaan karena merasa apa yang dilihat tidaklah seharusnya.
Itulah yang saya renungkan selama perjalan pulang. Di atas motor sembari membawa galon Aqua. Mungkin saya memang butuh Aqua.
Sebelum motor tepat masuk ke dalam garasi, sakit lambung saya mereda. Saya paham, bahwa tidak mengapa sedikit bersantai dengan rumah yang berantakan. Toh suami sedang liburan dan tidak ada satupun protes keluar dari lisannya. Azka pun sedang bahagia menikmati waktu dengan papinya, yang sehari-hari selalu sibuk bekerja.
Muka saya lebih ceria. Dan saya turun tangan membereskan kekacauan. Namun, baru saja tangan ini akan memungut mainan dari lantai. Sudah ada suami yang lebih dulu membereskan. Semuanya. Ah senangnya.
Mengapa tadi saya harus marah-marah?
No comments:
Post a Comment