Saturday, September 15, 2018

Komunikasi Produktif Hari Ke-8

Hari ini tanggal 11 September 2018. Di saat yang lain merasakan hari libur atau malah libur akhir pekan super panjang, lain halnya dengan kami. Suami tidak libur dan seperti biasa saya hanya berdua dengan Azka.

Sama seperti kemarin, Azka terbangun ketika adzan subuh berkumandang. Dia langsung berteriak minta diajak ke masjid. Satu hal yang saya lihat perubahannya sekitar satu bulang belakangan. Azka selalu bisa terbangun dengan adzan dan dia seperti geragapan ketika bangun karena was-was sudah ditinggal ke masjid oleh papinya. Syukurlah hari ini ayah dan anak bisa bersama menuju masjid.

Sakit radang tenggorokan saya mulai membaik sejak memutuskan menemui dokter semalamnya. Setelah satu minggu bertahan mengusir penyakit dengan apa yang ada. Gagal. Harusnya dari dulu saja ya ke dokternya. Satu lagi masalah saya. Untuk penyakit, saya sering menganggap enteng. Seperti beberapa tahun lalu, saya sadar telinga sakit. Seperti berdengung dan ditekan kuat-kuat. Saya anggap itu hanyalah sakit biasa. Ternyata, saluran di telinga saya ada yg menutup. Untung bisa diobati dengan rawat jalan. “Dicoba obat ini dulu ya, kalau belum membaik harus operasi,” kata dokter sembari menulis resep. Tanpa memandang saya sama sekali. Saya juga tidak memandang beliau sebenarnya. Lebih tertarik dengan lampu yang melingkar di kepalanya. Mengingatkan tentang susur gua yang tidak pernah jadi.

Penyakit yang telah membaik, memudahkan saya untuk berkomunikasi dengan Azka. Yang harus selalu saya ingat bahwa emosi tidak menyelesaikan masalah. Pilih bahasa yang tepat. Tekan intonasi ke tempat yang seharusnya. Atur bahasa tubuh yang menarik serupa badut di pesta ulang tahun. Sisanya? Bersenang-senang.

Menjaga mood Azka adalah yang utama. Namun, ada hal yang sebenarnya lebih utama yaitu menjaga mood diri sendiri. Bagaimana kita bisa membahagiakan orang lain, sedangkan kita tidak berbahagia. Sebaliknya. Jika kita sudah bahagia, maka kebahagiaan itu sebenarnya sudah menjalar dengan sendirinya ke orang-orang di sekitar kita. Komunikasi produktif yang saya ceritakan hari ini berpusat pada diri saya sendiri.

Saya mengatur mood hari ini dengan memasak makan malam sesuai jadwal menu yang sudah saya susun. Balado terong yang baru saja dipetik dari kebun tetangga. Lauknya simple. Sate bakso. Berhubung bumbu halus selalu tersedia, sehingga tugas saya hari ini tinggal meracik. Tidak lebih dari lima menit, semua beres.

Alhasil, saya dan Azka bisa bermain kota salju. Dengan ruang tamu yang masih berserakan butiran gabus, kami pindah ke kamar Azka. Bernyanyi dan menari. Tertawa bersama. Hingga tiba waktu makan siang.

Sembari memasak makan siang, Azka bermain di halaman belakang. Dia menemukan seekor burung terluka. Dengan inisiatif sebisanya, dia menyelamatkan hewan malang itu. Diberinya makan pisang. 

“Kok nggak mau ya, Mi?” keluhnya.

“Coba ini ada beras,” kata saya sembari mengulurkan segenggam beras ke tangannya.

“Nggak mau juga, Mi.”

“Coba nanti Mami lihat setelah selesai masak ya.” Azka setuju. Tanpa reaksi perlawanan. Mood kami berdua terjaga. Itu alasannya kami bisa dengan mudah bekerja sama.

Ternyata betul adanya. Lelah adalah sumber masalah. Jika sudah lelah, seluruh teori komunikasi yang telah dipelajari bisa menguap di telan bumi. Tidak heran banyak orang yang terpancing emosi selepas pulang bekerja. Karena apa? Karena dia lelah. Terkadang di saat itu, seseorang merasa bahwa harus ada yang disalahkan. Malangnya, anak-anak berada di posisi terlemah. Menjadi objek sasaran kemarahan. Padahal sebenarnya, kita saja yang tidak tahu bagaimana cara mengusir lelah.

Satu lagi tugas untuk diri saya. Menjaga diri dan hati dari lelah. Jika mencuci piring adalah pekerjaan yang menguras waktu, maka masak menu sederhana dengan peralatan yang bisa digunakan berulang-ulang sebelum dicuci. Jika waktu sudah mepet dan belum terhidang makanan, ya beli saja. In sya Allah diberi Allah rizki untuk membelinya. Jika rumah berantakan, tentukan waktu pembersihannya. Jika baju basah belum dijemur, maka jemur saja malam harinya. Ketika anak sudah we time dengan ayahnya. Kata orang bijak, “hidup ini sederhana, samapai kita membuatnya menjadi rumit.”

Memang benar. Kebahagiaan ibu itu penting. Keluarga yang bahagia dimulai dari ibu yang bahagia, bukan?

No comments:

Post a Comment