Friday, September 28, 2018

Little Science Project: Percobaan Metamorfosis Bersama Balita (Bagian I)

Assalamualaikum...

Ketika masih duduk di bangku SD pasti kita tidak asing dengan istilah metamorfosis, ya kan? Ada dua macam metamorfosis yaitu metamorfosis sempurna dan metamorfosis tidak sempurna. Dikatakan metamorfosis sempurna jika mengalami empat fase: telur, larva, pupa, dan imigo. Contoh hewan yang mengalami metamorfosis sempurna ini adalah kupu-kupu. Sementara dikatakan metamorfosis  tidak sempurna jika hanya melewati tiga fase: telur, nimfa, dan imigo. Contoh hewan yang mengalami metamorfosis tidak sempurna adalah belalang. Teori ini disampaikan oleh guru di dalam kelas, ditulis di dalam buku paket, dan diujiankan dalam ulangan harian. Namun, hingga percobaan ini dilakukan saya belum pernah sekalipun mengamati kejadian metamorfosis dengan mata kepala sendiri.

Berhubung kami tinggal di "rimba", nge-mol tidaklah memungkinkan sehingga diganti dengan nge-bon. Alias berjalan-jalan di kebon. Bukan makan di kantin, bayarnya pas gajian ya. Hahaha.

Bagi Azka sendiri, dia sudah memahami konsep metamorfosis berkat buku HOP! yang dihadiahkan oleh Tante Euis. Jadi saya tidak perlu menjelaskan panjang dan lebar sebelum memulai percobaan. Hanya perlu memancingnya dengan pertanyaan, "Gimana ceritanya ulat berubah jadi kupu-kupu?" Dari pertanyaan ini dia bisa menjelaskan urutan telur, ulat, kepompong, dan kupu-kupu. Diapun telah mengetahui proses ini dinamakan metamorfosis walaupun melafalkannya dengan agak kepleset-pleset.

Kami melakukan percobaan sebanyak tiga kali. Adapun rinciannya:

Pertama

Pada percobaan pertama ini (24 Agustus 2018),  kami mendapat ulat di pohon terong. Berhubung tempat yang kami siapkan hanyalah gelas plastik, saya kuatir daunnya tidak akan cukup masuk ke dalamnya. Maka, saya berinisiatif untuk memindahkan ulat tersebut ke daun jeruk yang terlihat segar dan sehat.

Sesudah berhasil saya pindahkan, kemudian kami memasukkannya ke dalam gelas plastik dan ditutup menggunakan plastik bening. Baik gelas dan plastiknya sudah diberi lubang agar sirkulasi udara lancar. Saya mengamati ulat yang baru saja kami masukkan seperti sangat aktif. Dia berjalan ke dinding gelas, lalu berjalan ke arah atas. Saya melihat gelagat dia seperti akan kabur terus-menerus.

Ternyata benar! Ulatnya kaborrrr, Pak Eko. Saya pun mencari informasi di internet. Barulah saya tahu bahwa ulat spesifik memakan daun di tempat induknya mencari makan. Jika ditemukan di pohon terong, maka dia pasti akan memakan daun terong. Bukan daun jeruk. Bukan pula daun pintu. Keras soalnya.

Gagal! Mari kita tutup percobaan pertama ini dengan bacaan hamdallah.

Kedua

Berbekal pengetahuan dari percobaan pertama, maka saya tahu bahwa tidak lagi diperkenankan memindah ulat ke daun yang berlainan. Oke!

Lagi-lagi kami masih mencari di sekitaran pohon terong (29 Agustus 2018). Alasannya, dari seluruh tanaman miliki tetangga (iya, kami melakukan percobaan bermodal tanaman tetangga) hanya pohon terong lah yang memiliki banyak lubang. Logika saya mengatakan bahwa daun yang berlubang kemungkinan besar dimakan ulat. Walaupun bisa juga karena semut ataupun serangga putih yang ukurannya sangat kecil dan bisa terbang yang sayangnya saya tidak tahu namanya apa.

Yes, ketemu! Kami menemukan lagi ulat yang sama persis dengan percobaan pertama. Warnanya kuning, berbulu, ukurannya tidak panjang. Langsung saja daunnya kami petik bersama tangkainya dan dimasukkan ke dalam gelas yang juga digunakan pada percobaan pertama. Ternyata daun terong yang lebar, muat juga masuk ke dalam gelas plastik yang kecil. Pengamatan mulai dilakukan.

Awalnya ulat terlihat tenang. Secara sok tau saya menyimpulkan bahwa tidak baik gelas ditaruh terus di dalam ruangan. Maka, ketika matahari terbit, saya dan Azka bergantian menaruh gelas plastik di jendela. Supaya menyerap sehatnya sinar matahari. Pada hari kedua, kami baru tahu bahwa daun terong akan sangat mudah layu. Akibatnya ulat terlihat agresif. Dengan bekal pengetahuan minimalis, hari ketiga kami mengambil lagi daun terong. Iya, masih tanaman terong milik tetangga.

Setiap hari kami mengganti daun terong yang layu dengan yang segar. Sampai tanggal 3 September 2018 kami mengamati ulat menjadi diam dan sama sekali tidak bergerak hingga keesokan harinya. Saya cek ulat masih menempel kuat pada daun. Saya dan Azka bergantian membolak-balik, ulat tersebut tidak bergerak. Saya jadi berpikir, "Jangan-jangan ini sudah menjadi kepompong." Namun secara penampakan, jauh berbeda dengan bentuk kepompong yang ada di buku-buku. Dia pun tidak terilihat menggantung seperti yang dituliskan di banyak sumber.

Pada tanggal 5 September 2018, ulat yang berdiam diri itu tidak ada lagi. Dia berubah menjadi hewan bersayap, berbentuk bulat, dengan motif banyak lingkaran pada punggungnya, dan dalam bahasa Inggris disebut lady bug.

Saya baru tahu bahwa kepik juga mengalami metamorfosis sempurna. Jadi hewan yang saya kira ulat berbulu, ternyata adalah nimfa kepik. Pada referensi yang saya baca, hewan berbulu seperti ulat dengan ukuran tidak terlalu panjang dan memiliki tiga pasang kaki adalah spesifik nimfa kepik. Ketika mengambil, saya tidak terpikir menghitung jumlah kakinya. Saya bahkan tidak tahu bahwa kepik bermetamorfosis. Oke sip! Fixed pas cilik dolanku kurang adoh (Zaman saya kecil mainnya kurang jauh).

Pengamatan ini dibilang berhasil, tidak. Dibilang gagal pun, tidak.

Tujuan kami mengamati metamorfosis sempurna berhasil, namun mengamati perubahan ulat menjadi kupu-kupu kembali gagal. Maka kami melanjutkan percobaan yang...

Ketiga

Kami kembali mengamati daun terong. Ternyata lubang-lubang pada tanaman itu merupakan ulah nimfa kepik. Setiap saya mendapati hewan seperti ulat, saya hitung kakinya. Semuanya berjumlah tiga pasang. Maka, kami beralih lah ke tanaman lain.

Saya tidak sengaja mendapati dua kepompong yang sudah ditinggalkan penghuninya di pohon jeruk. Warnanya sudah coklat dan terlihat akan segera rusak. "Nah...mungkin di sini ada ulat, Nak. Tuh ada bekas kepompong," kata saya kepada Azka laiknya detektif menemukan jejak-jejak pembunuh misterius. Kami pun mulai bergriliya mencari ulat di pohon jeruk. Oh iya, pohon ini juga milik tetangga.

Setelah panas-panas, ketusuk-tusuk duri, sandal kecemplung lumpur saya mendapati ada ulat berwarna hitam 12 September 2018). Kalau ini saya yakin adalah ulat. Bukan nimfa kepik. Bukan pula kucing. Ya masa kucing nempel di daun. Itu namanya kucing khilaf.

Saya ambil ulat itu beserta daun jeruk dan tangkainya. Berhubung lumayan besar, saya menggunakan toples bekas kue kering sebagai tempat pengamatan. Bagian sisi dan tutupnya dilubangi oleh Azka menggunakan obeng yang dibakar di atas kompor. Anak saya memang mainnya kelas berat. Ketauan ibunya suka nukang.

Toples ini juga kami taruh di jendela setiap kali matahari terbit. Daun jeruk tidak layu secepat daun terong. Hanya saja ulat membuang kotoran jauh lebih banyak dari nimfa kepik. Baru sehari, toples telah dipenuhi kotoran. Sehingga kegiatan kami pada hari-hari selanjutnya adalah memberi makan dan membersihkan kotoran. 

Tanggal 13 September 2018 ulat berubah warna dari hitam menjadi hijau. Menurut informasi yang saya dapat, ulat memang bisa berganti kulit. Bahkan katanya hingga menjadi kepompong, bisa berubah hingga enam kali.

Pada tanggal 16 September 2018, saya melihat ulat terlihat sangat agresif. Saya bingung. Bukannya kemarin tenang-tenag saja. Makan dengan lahap dan buang kotoran seenaknya. Mengapa sekarang menjadi terlihat lebih aktif dan agresif? Adakah dia rindu dengan keluarganya?

Kami pun kembali mencari daun jeruk. Paling-paling karena daunnya layu, sehingga ulat tidak mau makan. Ketika saya masukkan daun yang baru, perlahan ulat mencari jalan menju daun baru itu. Lantas, dia hanya berdiam diri. Ketika saya keluarkan, saya mengamati ada semacam benang yang keluar dari ekornya. Seperti sarang laba-laba, namun sedikit lebih tebal. Tidak lama, ulat berubah menjadi kepompong dalam posisi menggantung. Secara teori, ini benar-benar kepompong ulat yang nantinya menjadi kupu-kupu.

Berhari-hari kami tunggu. Hingga daun jeruk layu. Lantas berubah warna makin coklat. Meskipun begitu, kami tetap setia memindahkan toples ke jendela. Siapa tahu kepompong akan bertumbuh dengan baik jika ada sinar matahari. Namun keadaan tidak berubah. Suami saya bahkan berkata, "Ini nggak keguguran kan?" Mungkin dia mengira bahwa kepompong adalah jabang bayi yang bisa keguguran. Kalau benar begitu, saya yang repot. Di sini belum tersedia dokter kandungan ulat. Nanti bagaimana nasib induknya?

Tanggal 25 September 2018 di saat saya mau meminta Azka mandi pagi, saya mampir dulu ke toples yang belum saya taruh ke jendela. Saya merasa ada yang memanggil-manggil. WOW!!! Saya melihat makhluk bersayap hitam. Sayapnya masih lemah, sehingga dia terlihat kesulitan untuk mengudara. Saya pun memanggil-manggil Azka. Tak mau kalah. Dia mengamati kupu-kupu hasil peliharaannya dari berbagai sisi. Atas, bawah dan samping. Yang bagian samping pun dia lihat berkali-kali. Toples diputar-putar sambil diamati. Kalau tidak saya hentikan, dia tidak menghentikan memutar toples. Dia tidak sadar toples berbentuk lingkaran, diputar kemanapun wujudnya sama.

Setelah itu, kami berdua melepaskan kupu-kupu ke halaman belakang. Meskipun sayapnya masih lemah, kami yakin dia lebih hebat jika tumbuh di habitat aslinya. Di alam bebas.

Setelah satu bulan akhirnya percobaan berhasil. Alhamdulillah...



Alat dan bahan dalam percobaan dan dokumentasi saya tulis dalam bagian lainnya ya. Boleh sekali ditiru jika memungkinkan. Lumayan menambah aktivitas bersama keluarga. Jadi teringat mantera dasar Ibu Profesional, "Banyak-banyaklah main bareng, ngobrol bareng, beraktivitas bareng."

Boleh juga artikel ini disebarkan jika memang bermanfaat. Selamat mencoba :)



Salam,

Astri

No comments:

Post a Comment