Sunday, October 8, 2017

Satu Atap Dua Dimensi: Pengganggu Keluarga . . . (Bagian II)

Halo Teman-teman,

Tulisan ini adalah bagian kedua dari cerita tentang rumah besar yang pernah kami tempati selama tiga belas tahun. Bagian petama berjudul Satu Atap Dua Dimensi: Rumah Besar yang Kami Tempati Ternyata . . . (Bagian I).

Bagi yang bertanya-tanya, "Kok tahan tinggal di rumah itu sampai tiga belas tahun?" atau "Kok nggak pindah?". Jawabannya karena membeli rumah tidak semudah membeli Sugus, hahaha. Bahkan, khusus rumah ini, menjualnya pun tidak mudah. Sangat tidak mudah. Nantikan di bagian-bagian selanjutnya ya.

Oke kita mulai,

Keluarga kami memang merasakan banyak gangguan. Baik yang berwujud maupun tidak. Baik yang menunjukkan suara-suara atau sekedar membuat suasana hati menjadi mudah berubah negatif. Seperti sangat sedih, sangat panik, atau seperti sangat sesak. Masing-masing dari kami pernah merasakan seperti tinggal di kerumunan padahal sedang sendirian.

Selama menempati rumah tersebut, kami tidak mengumbar cerita-cerita di dalamnya. Alasannya adalah untuk menjaga ketenangan. Kebetulan setiap kami menempati rumah, selalu menjadi pusat berkumpul teman dan saudara. Di sisi lain, kami menganggap kejadian tersebut adalah kejadian biasa. Sama seperti orang lain yang "diganggu" di rumah mereka.

Namun, justru kami yang sering mendapat slentingan dari warga sekitar. Terutama ibu dan kakak saya.

Seperti suatu saat ketika kakak sedang bermain bola bersama tetangga. Ada seseorang yang bertanya, "Di, kowe ra wedi po tinggal ning kono?" (Di, apa kamu nggak takut tinggal di situ?). Kakak saya pun menjawab, "Ora kok. Ora ono opo-opo" (Nggak kok, nggak ada apa-apa). Sepulang dari bermain bola, dia pun bertanya pada ibu, "Ma, kok temen-temen pada nanya kita takut nggak tinggal di sini? Kenapa ya?". Ibu pun tidak menjawab.

Tidak beda jauh dengan kakak, ibu sering mendapat omongan sekitar. Biasanya, omongan ini berasal dari warga (W) yang sudah turun-temurun berdomisili di daerah itu *Dialog sudah saya terjemahkan dalam Bahasa Indonesia

W: "Bu, nggak pernah diganggu disitu?"
I: "Nggak tuh" *Tapi bo'ong

W: "Bu, dulu disini rumah masih jarang-jarang. Terus kalau malem saya lewat di tanah rumah Ibu, ada pohon bambu yang tiba-tiba melengkung. Kayak menghalangi saya jalan"
I: "Oh iya kah? Saya nggak pernah ada apa-apa tuh tinggal disitu" *Tapi bo'ong

W: "Bu, dulu disitu kayak hutan. Banyak pohon bambunya, katanya sering buat tempat buang" *saya kurang paham, maksudnya buang makhluk halus dari tempat lain atau membuang sampah atau membuang sesuatu yang terkait mimpi saya? (Nantikan di bagian lain)
I: *diem sambil senyam-senyum

W: "Bu, dulu di tanah situ sering ada yang ngliat sapi lho"
I: "Oooo"

Banyak sebetulnya slentingan semacam itu, namun kurang lebih yang dibicarakan sama. Kami pun sering membahas di rumah dengan guyon. Ketika tidak ada yang bisa kamu lakukan, maka tertawalah. Mengurangi penderitaa ye kan? hehe.

Lanjut,

Saya akan menulis tentang kejadian yang diceritakan oleh anggota keluarga. Baik keluarga inti maupun keluarga atau kerabat yang sekedar bermalam di rumah.

Wanita bercermin
Ini cerita dari Ayah, beliau adalah anggota keluarga yang sangat jarang diganggu. Ataupun merasakan gangguan. Damai lah pokoknya.

Tapi kali ini berbeda.

Di rumah kami, tidak ada namanya pintu kamar ditutup. Semua serba terbuka. Sehingga, meja rias yang berada di kamar orang tua, terlihat dari luar.  Saat itu, malam hari. Belum terlalu malam, mungkin masih kurang dari pukul 19.00. Ayah yang keluar dari kamar mandi belakang, melintas melewati kamar beliau sebelum menuju ruang keluarga.

Beliau bercerita bahwa ketika melintas di depan kamarnya, melihat sesorang wanita berambut panjang dan berbaju putih menghadap cermin sedang menyisir rambut. Ketidaksensitifan beliau membuatnya terus melintas. Setelah duduk di ruang keluarga, baru lah terbesit pikiran, "Eh yang di lihat kan rambut panjang, di rumah ini semuanya berambut pendek"

Deg!

Kamar yang selalu membawa kesedihan
Orang tua saya sengaja membangun sebuah kamar tidur dan kamar mandi di dekat dapur. Aslinya itu diperuntukkan untuk ART, mengingat ibu saya waktu itu berwirausaha. Kami bolak-balik berganti ART. Mereka tidak pernah kerasan. Bahkan ada yang baru beberapa malam minta pulang. Guna mengatasi itu, ibu selalu mengambil dua ART sekaligus.

Alasannya minta pulang selalu sama. Sampai ibu hafal.

Sejak mereka menginap di rumah kami, para ART tersebut mendapat mimpi. Biasanya mereka didatangi oleh ibunya yang berwajah sedih dan susah. Di dalam mimpi tersebut, mereka diminta pulang. Mimpi ini datang bekali-kali bahkan ada yang setiap hari, Ssampai mereka merasa bahwa sedang terjadi sesuatu dengan ibunya. Akhirnya minta pulang.

Kami pun beranjak dewasa. Saat saya menginjak SD kelas empat atau lima, tidak ada ART lagi di rumah, sehingga kamar tersebut kosong. Sampai akhirnya, seorang kerabat yang sudah dianggap anak sendiri oleh orang tua saya ditawari untuk tidur di rumah. Dia seorang laki-laki (anggap saja namanya Mas Koko) yang memiliki pekerjaan di sekitaran UGM. Daripada bayar kos, mending mengisi kamar yang kosong itu. Dia pun menyetujuinya.

Tidak lain dari para ART. Mas Koko juga didatangi mimpi bahwa ibunya yang di luar pulau Jawa sedih dan susah. Mimpi datang berulang dan selalu memintanya pulang. Perasaaanya pun risau. Maka, Mas Koko menceritakan mimpinya ke ibu.

Ibu pun berkata bahwa semua yang menempati kamar tersebut pasti mendapat mimpi yang sama. Mas Koko pun disarankan untuk memperbanyak sholat dan mengaji. Lambat laun mimpi tersebut hilang dan syukurlah bahwa yang sebenarnya ibu dari Mas Koko tidak mengalami kejadian apa pun.

Tamu yang lari ketakutan
Suatu hari, Mas Koko meminta izin kepada orang tua saya untuk meminjam satu kamar di lantai atas. Kebetulan, kakaknya (anggap saja namanya Mas Dodo) sedang datang ke Jogja untuk satu urusan dan belum memiliki tempat tinggal. Orang tua saya pun langsung mengizinkan. Memang dari awal, tujuan dibuat kamar atas adalah untuk menampung para tamu atau siapa saja yang butuh tempat tinggal sementara. 

Kalau tidak salah kejadian ini muncul langsung saat malam pertama Mas Dodo menginap di rumah. Saya mendengar ada derap langkah kaki seperti orang lari dari lantai atas. Padahal sudah lewat tengah malam. Lalu, langkah tersebut menuruni tangga dan menuju kamar Mas Koko. Ada sedikit perbincangan dan akhirnya saya tahu bahwa yang lari adalah Mas Dodo. Ketika hari sudah pagi, Mas Dodo meminta izin pulang dan tidak lagi menginap di rumah kami.

Usut punya usut, Mas Koko bercerita bahwa semalam kakaknya tiba-tiba didatangi perempuan di tempat tidurnya. Maka dari tiu dia berlari dan menggedor kamar Mas Koko. Kapok deh.

Saya kurang tau juga perawakannya seperti apa. Sepertinya tidak jauh dari sosok yang dilihat ayah di kamar.

Kecelakaan tunggal
Saya lupa kejadiannya tahun berapa. Malam sekitar pukul 20.00, waktu itu kondisi rumah sedang ramai. Kebetulan ada saudara dari luar kota sedang bertamu ke rumah. Suara riuh ramai terdengar dari segala sudut.
Namun, tiba-tiba suara riuh itu dilenyapkan oleh suara dentuman keras yang terdengar dari luar. "Ciiiiiiiitttt, braaaaakkkk".

Kami pun langsung berlari keluar dan sontak kaget melihat apa yang ada di depan mata. Terjadi kecelakaan tunggal tepat di depan rumah kami. 

Ada sebuah mobil yang melaju ke arah utara, mendadak banting setir. Jalan yang tidak begitu lebar, mengakibatkan mobil itu masuk sebuah parit yang terletak di seberang rumah kami. Ukuran parit ini pun cukup kecil, lebarnya hanya sekitar 2,5m atau mungkin kurang dari itu. Herannya lagi, saat kami temui mobil sudah menghadap selatan. Bisa berputar 180 derajat di dalam parit yang sangat sempit.

Setelah semua kondusif dan tidak ada yang terluka, kami pun melakukan konfirmasi. Menurut sang pengemudi, dia banting setir karena kaget tiba-tiba di depan rumah kami ada sapi duduk. Kecepatan mobil sedikit laju, sehingga tak terelakkan lagi mobil yang dipacunya masuk ke dalam parit. Setelah keluar, dia baru sadar jika api yang dilihatnya tadi tidak ada.

Sepeda berjalan
Ketika adik saya masih balita, dia dibelikan sepeda roda tiga yang terbuat dari plastik. Saya masih ingat berwarna pink merk Family. Sepeda ini digunakannya hanya di dalam rumah. Mengingat rumah yang cukup besar, balita pun puas bermain sepeda di dalamnya. Kalau sedang tidak dipakai, sepeda ini biasanya dia letakkan di ruang keluarga.
Ibu pernah bercerita, namun singkat. Waktu beliau di dapur, dia melihat sepeda adik saya ini berjalan sendiri. Bukan karena angin, entah karena apa.

*Menurut Anda karena apa?


Tulisan kali ini lebih pada pengalaman anggota keluarga mendapat gangguan. Bagian selajutnya, adalah kejadian yang murni saya alami. Seperti yang saya tulis di Bagian I. Satu orang dalam dua lokasi. Apa lagi ya?? Tunggu aja deh. Mau masak dulu, hehehe.


Salam Horor Hangat,



Astri

No comments:

Post a Comment