Halo Teman-teman
Sebenarnya cerita tentang rumah ini sudah lumayan lama. Saya agak ragu-ragu antara ingin menuliskannya atau tidak. Tetapi, akhirnya saat ini saya putuskan untuk menceritakannya, hehe. Detail rumah yang dimaksud sengaja saya samarkan. Mengingat saat ini, rumah tersebut sudah menjadi sebuah lokasi usaha. Jika kebetulan pembaca artikel ini ada yang tahu rumah yang dimaksud, harap keep silent ya.
Rumah ini merupakan rumah ketiga yang kami tempati di Jogja. Setelah sempat mengontrak dua kali, orang tua saya akhirnya bisa membeli tanah dan membangun rumahnya sendiri. Seingat saya rumah ini dibangun di atas tanah seluas 450 m2. Ibu saya bercerita tanah ini dibeli sekitar tahun 1994-1995 dengan harga Rp 25.000 per m2. Namun baru kami tempati tahun 1996.
Letaknya di Jogja bagian utara. Jika pernah kongkow di Cafe Brick, nah tidak jauh lah dari situ. Desain rumahnya menurut saya cukup artistik, dibuat oleh seorang arsitek kenalan ibu. Terdiri dari satu rumah induk berlantai dua dan satu paviliun yang dibangun khusus untuk almarhumah eyang.
Rumah ini cukup besar. Rumah induk terdiri dari enam kamar tidur. Saya sempat menempati kamar bagian depan dan belakang. Di rumah ini, setiap sudut mempunyai cerita.. Bahkan, sampai kepindahan kami di tahun 2009.
Banyak sekali kisah di dalamnya, sehingga saya tulis satu-satu sambil mengingat. Kejadiannya acak, se-acak ingatan saya, hahaha.
Pertama "Berkenalan"
Siang hari yang panas tahun 1998, saya sedang sendiri di rumah. Tiduran di sofa ruang keluarga sembari menonton TV. Awalnya biasa saja sih. Sampai tiba-tiba dari belakang kepala saya terdengar suara seperti orang yang sedang flu dan berusaha menarik (maaf) ingus di hidungnya. Satu kali terdengar, saya masih belum peduli. Ketika kali kedua suara ini terdengar, saya mulai berpikir, "Lah ini suara siapa?". Mulai saat itu nafas itu semakin keras dan intens. Kaki saya berasa kaku karena bingung antara ingin menetap atau lari. Akhirnya saya putuskan untuk menetap dan menutup mata. Suara itu tetap tidak berhenti. Sampai akhirnya ada suara klakson mobil dari luar. Ibu akhirnya pulang. Suara itu berhenti dan seingat saya, ini pertama kali saya merasakan kehadiranya.
*Sebentar-sebentar, satu poin ini selesai ditulis laptop saya mendadak mati. Padahal batrei full, Hahaha. Duh, no more deh!!*
Ketukan Tengah Malam
Awal kami pindah, saya masih satu kamar dengan kakak lelaki saya. Di kamar paling belakang, dekat dengan area cuci pakaian. Namun, tahun 1997 saya meminta untuk pisah kamar. Akhirnya, ruang belajar yang berada di dekat ruang makan, disulap menjadi kamar baru. Senang sekali rasanya, memiliki kamar sendiri. Saya pun jadi rajin menulis diary, hahaha.
Mulanya senang sekali tidur sendiri di kamar. Sampai suatu malam, teror dimulai.
Sejak kecil, saya sering mengalami gangguan tidur. Se-lelah apapun saya, baru bisa tertidur lewat tengah malam. Sebelum tidur saya habiskan untuk mengerjakan PR, menulis diary, menggambar, atau crafting. Malam itu, saya mulai menarik selimut dan mencoba tidur. Karena susah tertidur, maka harus selalu ada ritual guling-guling sambil memejamkan mata. Berharap segera tidur. Ketika sudah terlelap beberapa menit, tiba-tiba, "Dok dok dok dok". Ketukan keras terdengar dari jendela (FYI, jendela ini langsung mengarah ke halaman depan). Saya pun batal terlelap. Memandang jendela dengan keringat sebiji jagung di kepala. Saya pun menarik selimut sembari melafalkan ayat kursi. Lama-kelamaan suara pun hilang. Pelan-pelan saya buka selimut dan "Dok dok dok dok", suara itu kembali terdengar. Lagi-lagi saya kembali bersembunyi dalam selimut dan bersumpah tidak membukanya sampai pagi.
Derap Langkah
Masih di kamar yang sama, namun dengan suara yang berbeda. Kejadiannya pun juga tengah malam. Saya tetap belum bisa tertidur. Lalu, dari arah ruang keluarga atau ruang makan terdengar derap langkah. Seperti langkah ibu yang selalu memakai sandal di dalam rumah. Jalan mondar-mandir.
Setelah beberapa kali terjadi, saya pun bercerita kepada ibu. Dan ya ternyata, beliau juga mengalaminya. Akhirnya sata tahu, seluruh anggota keluarga pernah mengalaminya. Tapi kok diam saja, hahaha. Dianggap kejadian bisa, maka dari itu saya pun tetap menempati kamar yang sama.
Suara jangkrik
Sebenarnya ini kejadian yang terjadi belakangan. Mungkin sekitar tahun 2007 atau 2008. Ketika itu, saya sudah pindah ke kamar belakang, kakak saya pindah ke kamar atas, dan kamar depan ditempati oleh adik.
Salah satu saudara ada yang pulang dari haji dan memberikan oleh-oleh. Saat itu, adik saya masih SD sehingga diberi mainan yang dibeli di Arab Saudi. Bentuknya seperti kacang. Jika dibuka, di dalamnya terdapat dua jangkrik dan akan berbunyi "krik krik krik". Suara jangkrik akan berhenti jika kacang kembali ditutup. Mainan itu selalu ditempatkannya di kamar.
Suatu siang, kami sedang berada di ruang keluarga. Lalu ada suara, "krik krik krik" dari dalam kamar adik. Kami pun saling pandang. Jika mainan itu kesenggol dan menutup, masih wajar. Kalau tiba-tiba ada suara artinya mainan itu terbuka sendiri dong ya? Terus yang buka siapa? Masih menjadi teka-teki sampai sekarang.
Tamu tak tampak
Saya lupa kejadiannya tahun berapa. Suatu sore menjelang adzan maghrib. terdengar suara bel ditekan. "Ting Tong Assalamualaikum, Ting tong Assalamualaikum". Begitulah bel rumah kami berbunyi.
Saat itu, saya berada di ruang tengah. Tidak ingat mengapa saya sendiri di situ. Sebelum bel berhenti berbunyi, saya segera berlari menuju pintu. Seperti biasa, saya mengintip dari kaca patri yang letaknya di sebelah pintu. Tidak ada siapa-siapa. Saya pun membukanya. Betul ternyata, tidak ada seorang pun di luar. Saya pun tengak-tengok di jalan. Sepanjang mata memandang, tidak ada satu orang pun yang melintas.
Telpon itu dari siapa?
Kalau tidak salah ingat, ini terjadi malam hari. Sekitar pukul 19.00 WIB. Seluruh anggota keluarga sedang di rumah. Lalu terdengar dering telepon "Kriiiing kriiing". Saya duduk bersebelahan dengan pesawat telepon, maka otomatis saya yang mengangkat. Terjadilah percakapan ini. Saya (A) dan orang di seberang telepon (B)
A: "Halo Assalamualaikum"
B: "Selamat malam"
A: "Selamat malam, mau cari siapa ya?"
B: " Bisa bicara dengan Mbak XXX?" *mencari eyang yang dia sebut dengan panggilan Mbak
A: "Oh eyang ada di nomor satunya. Ditelpon aja di XXX" *saya menyebutkan nomor telepon paviliun
B: "Oh gitu. Baik Terima kasih"
*tut tut tut tut"
Ada perasaan penasaran dalam benak saya. Saya pun bergegas ke paviliun. Konfirmasi ke eyang (E) tentang telepon ini.
A: "Yang, tadi ada telpon?"
E: "Ora ki, seko sopo emange?" (Enggak tuh, dari siapa emangnya?)
A: "Oh ya udah, nggak tau dari siapa. Lupa nanya, makanya kesini mau nanya"
Sebenarnya saya sudah tahu telepon dari siapa. Ada tiga ciri yang mengarah ke seseorang. Pertama, bahasa yang digunakan baku, tertata, dan sangat sopan. Kedua, memanggil eyang dengan sebutan "Mbak". Ketiga, suara parau menandakan usianya yang sudah lanjut.
Sekembalinya dari paviliun, saya langsung menuju ke dapur. Menceritakan ke ibu tentang kejadian ini. Ciri-ciri pun saya sebutkan. Ternyata ibu sepaham dengan saya.
Suara itu berasal dari seorang kerabat yang belum lama meninggal dunia.
Si Balita sudah menampakkan energinya. Saya sudahi dulu ya.
Masih banyak cerita lainnya. Ada yang mirip dengan film The Conjuring juga. Bagaimana bisa satu orang ada di dua tempat? Bahkan hingga kami mengusahakan sebuah ritual hanya untuk bisa pindah rumah.
Salam horor Hangat,
Astri
No comments:
Post a Comment