Halo Teman-teman,
Setiap perjumpaan pasti berakhir pada perpisahan, sama seperti cerita Satu Atap Dua Dimensi. Bagian ini akan menceritakan detik-detik akhir kepindahan dari rumah angker yang kami tempati selama tiga belas tahun. Tepatnya tahun 2009.
Bagi saya pribadi, rumah ini memiliki kesan tersendiri. Selain kisah horor tentunya. Tiga belas tahun saya melewatkan siang dan malam. Sejak mulai mengenakan seragam putih-merah, hingga ujian mid semester kedua saat berkuliah.
Rumah dengan atap tinggi tanpa eternit, jendela dan pintu berukuran besar di setiap sudut, membuat angin sepoi-sepoi masuk menyejukkan. Apabila hujan turun di pagi hari, menambah kesyahduan lagu Sunday Morning milik Maroon 5 yang sering saya mainkan di playlist komputer.
Di rumah itu saya sering menghabiskan hari minggu pagi dengan menonton Chibi Maruko Chan, doraemon, Hamtaro, dan Detective Conan. Beranjak ABG saya tidak pernah melewatkan MTV Asian Hit list dan MTV Ampuh yang tayang setiap Sabtu siang. Menunggu video klip milik Westlife dan Sheila on 7 diputar. Mereka selalu merajai tangga nada di awal era 2000. Siapa ingat?? hehe. Kala senja datang dan cahaya mulai temaram, lagu 100 years milik Five for Fighting menambah sendu suasana.
Lanjut ya,
Eh sebentar, saya peringatkan sesuatu, hehehe. Kami sekeluarga pun sebenarnya baru kali ini mengalami kejadian yang mengharu biru penuh sensasi ala film Suzana. Awalnya kami tidak tahu sampai dihadapkan dengan kenyataan bahwa kami tinggal di rumah se-angker ini. Cerita berikut, bagi sebagian orang mungkin dianggap mengada-ada. Namun, saya berusaha menceritakan sebenar-benarnya sesuai kemampuan saya dalam mengingat.
Lanjut beneran ya,
Siang hari, Pak Anton datang ke rumah untuk melihat suasana. Antara kaget dan tidak kami mendengarnya.
"Wah ini berat. Paling berat dari semua yang pernah saya tangani", katanya.
Rupanya, rumah kami dibangun di atas kerjaan gaib. Di dalam keraajaan tersebut, ada sembilan penunggu utama. Artinya memang bertempat di tanah itu sejak dulu. Tujuh dari sembilan penunggu berada di kamar belakang (kamar saya) dan dua sisanya kalau tidak salah di ruang keluarga. Selain kesembilan penunggu, ada banyak sekali lalu lalang makhluk tak kasat mata. Tidak menetap, hanya "bertamu". Pak Anton menyebutnya dengan banyak sekali karena tak terhitung, ratusan bahkan ribuan. Itulah sebabnya kami sering merasa penuh sesak meskipun berada sendirian di rumah. Berarti, penuturan warga dulu bukan isapan jempol belaka. Ada rasa bangga diri bahwa saya bisa keluar dengan waras dari rumah itu just like a pro, hahaha.
Pak Anton pun memulai ritualnya. Jangan dibayangkan seperti di TV itu ya. Prosesnya adalah dialog Pak Anton dengan pemimpin dari penunggu tetap. Beliau berbicara dengan sesuatu entah apa. Semacam berbicara sendiri.
Menanyakan maksud mengapa kami selalu mendapat teror terutama ketika berikhtiar menjual rumah. Ternyata, si pemimpin mengatakan bahwa mereka sudah sangat cocok dengan keluarga kami. Mereka tidak mau rumah berpindah tangan. Hanya keluarga kami lah yang mereka inginkan untuk menempati rumah tersebut. Orang lain dibuat tidak pernah kerasan.
Itulah mengapa seluruh ART termasuk mas Koko didatangi mimpi yang membuat mereka berpikir untuk segera keluar dari rumah, itu pula sebabnya Mas Dodo ditdatangi perempuan di tempat tidur di malam pertama menginap. Akhirnya terjawab juga tentang bau bangkai setiap ada calon pembeli datang, dan yang terakhir adalah tamu misterius.
Si pemimpin mengatakan bahwa sembilan penunggu tetap tidak pernah menganggu keluarga kami, namun "tamu" yang lalu lalang itu lah yang menimbulkan gangguan-gangguan tak ada henti. Baik siang maupun malam hari.
Pak Anton melakukan mediasi supaya diraih win win solution dan keluarga kami segera dapat menjual rumah. Maka, didapat kesepakatan untuk memberi mereka ganti berupa bejana diberi air dan uang logam 500 rupiah, mie instant, dan satu lagi saya lupa. Barang itu ditempatkan di sudut ruang keluarga. Sebagai imbalan, si pemimpin berjanji untuk melepas keluarga kami dan mencegah "tamu" penganggu datang.
Setelah bermediasi, kami diperingatkan oleh pak Anton ada kemungkinan nanti terjadi suara ribut seperti orang akan pindahan. Saat iu terjadi, artinya para tamu sedang keluar dari rumah dan tidak menganggu lagi.
Saat terakhir
Hari-hari terjadi seperti biasa. Kami masih harap-harap cemas kapan suara ribut yang dimaksud akan datang. Tidak ada tanda-tanda pasti.
Sampai suatu malam sekitar pukul 22.00, saya sedang belajar menghadapi mid semester II di kamar belakang. Tidak ada siapapun di rumah. Meja belajar saya terletak tepat di jendela yang menghadap langsung ke halaman belakang. Hari sangat panas, sehingga jendela tetap saya biarkan terbuka. Belajar ditemani siaran radio Swaragama menggunakan HP.
Tiba-tiba,
"Braaak!", seperti ada suara lemparan batu ke jendela kamar. Saya langsung reflek berpikir bahwa ini adalah suara ribut yang dimaksud. Segera saya tutup jendela dan gorden. Memastikan pintu kamar sudah tertutup.
Di luar kamar, suara riuh terdengar. Layaknya berada di pasar. Tidak jelas apa yang terdengar, namun ada satu suara yang paling dominan. Saya menebaknya suara pria, keras tetapi tidak jelas apa yang dibicarakan. Ramai sekali. Benar-benar ramai.
Saya bingung mau melakukan apa. Keluar takut, di dalam kamar rasanya seperti mau membeku. Lalu, saya pasang headset, mengencangkan volume HP, dan mengirim SMS ke orang tua.
SMS berhasil dikirim dan "Ting", suara dering SMS di HP orang tua terdengar dari luar. Iya, mereka meninggalkan HP-nya di rumah. Sial! Saya pun hanya diam di meja belajar berharap suasana riuh ini segera berakhir.
Gayung bersambut, suasana kembali sepi. Dari ruang keluarga terdengar suara kunci ditaruh di atas cawan keramik. Saya berpikir, orang tua sudah pulang. Saya pun keluar kamar. Sampai di ruang keluarga, ternyata belum ada siapa-siapa. Lalu, suara rame kembali terdengar. Sekarang seperti ada tawuran. "ha he ho, brak dug", suara seperti banyak orang marah-marah sambil melempar barang. Saya langsung lari ke kamar, menutup pintu. Mau menangis tidak bisa. Berharap pingsan.
Kejadiannya berlangsung sekitar sepuluh hingga lima belas menit. Namun rasanya sudah menghabiskan separuh usia saya. Lambat laun suara riuh berakhir. Sunyi senyap. Betul-betul senyap. Saat itu saya belum mau keluar kamar, masih gemetar. Suara barang-barang dilempar membuat saya berpikir bahwa barang di rumah sudah porak poranda.
Kali ini ada suara pintu garasi dibuka. Setelah merasa yakin betul bahwa orang tua saya benar-benar pulang. Maka, saya keluar kamar. Tidak ada perubahan barang ternyata. Semua masih seperti sedia kala.
Sampai di garasi, syukurlah memang orang tua sedang memasukkan motornya.
Salam Perpisahan
Tidak berselang lama setelah kejadian ribut terjadi, datang seseorang yang tertarik dengan rumah kami. Hanya satu kali survey dan beliau menyetujui membelinya. Kami pun meminta keringanan untuk tinggal beberapa saat sampai mendapatkan rumah kontrakan. Sembari mengemasi barang yang sangat banyak.
Hari-hari terakhir kami habiskan untuk mengemasi barang. Semua barang dimasukkan dalam kardus satu per satu. Tidak ada lagi gangguan-gangguan yang kami rasakan. Entah karena mediasi memang betul-betul berhasil. Atau kami yang kelewat lelah karena mempersiapkan kepindahan.
*Jika ada yang tanya mengapa saya masih tidur di kamar belakang padahal tahu ada tujuh penunggu disana, jawabannya saya males bawa-bawa barang. Kalau ada yang tanya saya berani sendirian di rumah, jawabannya karena besok ujian (mahasiswa berdedikasi tinggi, hahaha)*
Eh sebentar, saya peringatkan sesuatu, hehehe. Kami sekeluarga pun sebenarnya baru kali ini mengalami kejadian yang mengharu biru penuh sensasi ala film Suzana. Awalnya kami tidak tahu sampai dihadapkan dengan kenyataan bahwa kami tinggal di rumah se-angker ini. Cerita berikut, bagi sebagian orang mungkin dianggap mengada-ada. Namun, saya berusaha menceritakan sebenar-benarnya sesuai kemampuan saya dalam mengingat.
Lanjut beneran ya,
Siang hari, Pak Anton datang ke rumah untuk melihat suasana. Antara kaget dan tidak kami mendengarnya.
"Wah ini berat. Paling berat dari semua yang pernah saya tangani", katanya.
Rupanya, rumah kami dibangun di atas kerjaan gaib. Di dalam keraajaan tersebut, ada sembilan penunggu utama. Artinya memang bertempat di tanah itu sejak dulu. Tujuh dari sembilan penunggu berada di kamar belakang (kamar saya) dan dua sisanya kalau tidak salah di ruang keluarga. Selain kesembilan penunggu, ada banyak sekali lalu lalang makhluk tak kasat mata. Tidak menetap, hanya "bertamu". Pak Anton menyebutnya dengan banyak sekali karena tak terhitung, ratusan bahkan ribuan. Itulah sebabnya kami sering merasa penuh sesak meskipun berada sendirian di rumah. Berarti, penuturan warga dulu bukan isapan jempol belaka. Ada rasa bangga diri bahwa saya bisa keluar dengan waras dari rumah itu just like a pro, hahaha.
Pak Anton pun memulai ritualnya. Jangan dibayangkan seperti di TV itu ya. Prosesnya adalah dialog Pak Anton dengan pemimpin dari penunggu tetap. Beliau berbicara dengan sesuatu entah apa. Semacam berbicara sendiri.
Menanyakan maksud mengapa kami selalu mendapat teror terutama ketika berikhtiar menjual rumah. Ternyata, si pemimpin mengatakan bahwa mereka sudah sangat cocok dengan keluarga kami. Mereka tidak mau rumah berpindah tangan. Hanya keluarga kami lah yang mereka inginkan untuk menempati rumah tersebut. Orang lain dibuat tidak pernah kerasan.
Itulah mengapa seluruh ART termasuk mas Koko didatangi mimpi yang membuat mereka berpikir untuk segera keluar dari rumah, itu pula sebabnya Mas Dodo ditdatangi perempuan di tempat tidur di malam pertama menginap. Akhirnya terjawab juga tentang bau bangkai setiap ada calon pembeli datang, dan yang terakhir adalah tamu misterius.
Si pemimpin mengatakan bahwa sembilan penunggu tetap tidak pernah menganggu keluarga kami, namun "tamu" yang lalu lalang itu lah yang menimbulkan gangguan-gangguan tak ada henti. Baik siang maupun malam hari.
Pak Anton melakukan mediasi supaya diraih win win solution dan keluarga kami segera dapat menjual rumah. Maka, didapat kesepakatan untuk memberi mereka ganti berupa bejana diberi air dan uang logam 500 rupiah, mie instant, dan satu lagi saya lupa. Barang itu ditempatkan di sudut ruang keluarga. Sebagai imbalan, si pemimpin berjanji untuk melepas keluarga kami dan mencegah "tamu" penganggu datang.
Setelah bermediasi, kami diperingatkan oleh pak Anton ada kemungkinan nanti terjadi suara ribut seperti orang akan pindahan. Saat iu terjadi, artinya para tamu sedang keluar dari rumah dan tidak menganggu lagi.
Saat terakhir
Hari-hari terjadi seperti biasa. Kami masih harap-harap cemas kapan suara ribut yang dimaksud akan datang. Tidak ada tanda-tanda pasti.
Sampai suatu malam sekitar pukul 22.00, saya sedang belajar menghadapi mid semester II di kamar belakang. Tidak ada siapapun di rumah. Meja belajar saya terletak tepat di jendela yang menghadap langsung ke halaman belakang. Hari sangat panas, sehingga jendela tetap saya biarkan terbuka. Belajar ditemani siaran radio Swaragama menggunakan HP.
Tiba-tiba,
"Braaak!", seperti ada suara lemparan batu ke jendela kamar. Saya langsung reflek berpikir bahwa ini adalah suara ribut yang dimaksud. Segera saya tutup jendela dan gorden. Memastikan pintu kamar sudah tertutup.
Di luar kamar, suara riuh terdengar. Layaknya berada di pasar. Tidak jelas apa yang terdengar, namun ada satu suara yang paling dominan. Saya menebaknya suara pria, keras tetapi tidak jelas apa yang dibicarakan. Ramai sekali. Benar-benar ramai.
Saya bingung mau melakukan apa. Keluar takut, di dalam kamar rasanya seperti mau membeku. Lalu, saya pasang headset, mengencangkan volume HP, dan mengirim SMS ke orang tua.
SMS berhasil dikirim dan "Ting", suara dering SMS di HP orang tua terdengar dari luar. Iya, mereka meninggalkan HP-nya di rumah. Sial! Saya pun hanya diam di meja belajar berharap suasana riuh ini segera berakhir.
Gayung bersambut, suasana kembali sepi. Dari ruang keluarga terdengar suara kunci ditaruh di atas cawan keramik. Saya berpikir, orang tua sudah pulang. Saya pun keluar kamar. Sampai di ruang keluarga, ternyata belum ada siapa-siapa. Lalu, suara rame kembali terdengar. Sekarang seperti ada tawuran. "ha he ho, brak dug", suara seperti banyak orang marah-marah sambil melempar barang. Saya langsung lari ke kamar, menutup pintu. Mau menangis tidak bisa. Berharap pingsan.
Kejadiannya berlangsung sekitar sepuluh hingga lima belas menit. Namun rasanya sudah menghabiskan separuh usia saya. Lambat laun suara riuh berakhir. Sunyi senyap. Betul-betul senyap. Saat itu saya belum mau keluar kamar, masih gemetar. Suara barang-barang dilempar membuat saya berpikir bahwa barang di rumah sudah porak poranda.
Kali ini ada suara pintu garasi dibuka. Setelah merasa yakin betul bahwa orang tua saya benar-benar pulang. Maka, saya keluar kamar. Tidak ada perubahan barang ternyata. Semua masih seperti sedia kala.
Sampai di garasi, syukurlah memang orang tua sedang memasukkan motornya.
Salam Perpisahan
Tidak berselang lama setelah kejadian ribut terjadi, datang seseorang yang tertarik dengan rumah kami. Hanya satu kali survey dan beliau menyetujui membelinya. Kami pun meminta keringanan untuk tinggal beberapa saat sampai mendapatkan rumah kontrakan. Sembari mengemasi barang yang sangat banyak.
Hari-hari terakhir kami habiskan untuk mengemasi barang. Semua barang dimasukkan dalam kardus satu per satu. Tidak ada lagi gangguan-gangguan yang kami rasakan. Entah karena mediasi memang betul-betul berhasil. Atau kami yang kelewat lelah karena mempersiapkan kepindahan.
Dua minggu berselang setelah rumah terjual. Barang sudah
dikemas dan seluruh alat elektronik tidak lagi terhubung dengan listrik.
Tumpukan kardus ada di beberapa sudut rumah, siap untuk dibawa keesokan
harinya.
Di malam terakhir kami menghuni rumah, bapak masih melaksanakan sholat tahajud. Setelah selesai berdoa, beliau
beridam sejenak di musholla.
“Krek krek ngeeeeeek", terdengar printer epson kami berbunyi.
Link bagian sebelumnya:
Salam Horor Hangat,
Astri
*Jika ada yang tanya mengapa saya masih tidur di kamar belakang padahal tahu ada tujuh penunggu disana, jawabannya saya males bawa-bawa barang. Kalau ada yang tanya saya berani sendirian di rumah, jawabannya karena besok ujian (mahasiswa berdedikasi tinggi, hahaha)*
Ceritanya bagus... Semoga masih berlanjut ya gak stop di ending "nanggung" :-)
ReplyDeleteIhhh, seram,
ReplyDeletekamu hebat mba, bisa bertahan 13 tahun disana,
Luar biasa, hehe
astriiiii... semoga ntar malem aku bisa tidur dan lupa dengan cerita2mu
ReplyDelete