Pagi
yang indah. Membuka mata dan melihat kau masih terlelap. Aku masih canggung
menjadi istri. Tak tahu apa yang harus ku perbuat. Maka aku buatkan kau
secangkir teh hangat dan setangkup roti tawar selai stroberi. Menaruhnya di
atas piring porselen warna putih corak bunga lili. Membuat meja makan tertata rapi.
Menunggumu membuka mata dan kita mulai sarapan pagi.
Aku
gembira melihatmu tersenyum dan mengucapkan terima kasih atas menu yang tanpa
usaha itu. Kita berbincang. Kupandangi wajahmu yang menawan. Mata yang
terbelalak, dahi yang mengkerut, hidungmu yang mancung. Perpaduan antara bibir
yang tipis dengan gigi rapi. Suaramu menjadi melodi baru dalam hidupku.
Sejenak
aku berkata pada Tuhan, “Ijinkan aku Tuhan untuk menikmati suasana ini setiap
hari. Aku berjanji untuk selalu menjaga hatinya, melayani kebutuhannya, menjadi
teman hidupnya, bersahabat dengan ia selamanya. Kau tahu Tuhan betapa aku
mencintainya”.
Lamunanku
terputus ketika dirimu mengibaskan tangan tepat di depan mataku, “Heh
ngelamun”.
“Nggak
kok”, aku mengelak
“Maaf
ya”, katamu sembari mengenggam tanganku
“Untuk
apa?”, dahiku mengernyit
“Aku
belum bisa membangunkan kita rumah”, kau tertunduk sedih
“Nggak
apa-apa”, aku meggelengkan kepala
Meski
harus menetap di lubang semut. Tak masalah. Tidakkah dirimu adalah rumah bagiku?
No comments:
Post a Comment