Seperti biasa. Satu jam
sebelum senja, Laras mengajak Mendung, anaknya yang berusia belum genap tiga
tahun, bermain di luar. Mendung selalu suka mencabut rumput di halaman rumah
Pakdhe Yono, tetangga mereka. Kemudian menjatuhkan diri bak tertembak peluru
dan tidur berbaring dengan atap langit yang menampakkan burung bergerombol
kembali ke sarang. Laras pun terlena mengamati lalu lalang orang yang lewat di
jalan. Para pegawai yang beranjak pulang.
Laras menengok ke arah
pukul dua. Pak Cahyo tersenyum lebar, Rio, anaknya, memanggil sang ayah penuh
kerinduan. Lalu, kepalanya beranjak ke arah pukul dua belas, Bu Rika mencium
tangan suaminya yang baru saja menyandarkan standar motornya. Pemandangan yang
sama dengan kemarin dan akan sama juga esok hari. Mata Laras memancarkan kebahagiaan. walau hanya sekedar memandang. Bibirnya sedikit terangkat. Senyum yang coba disembunyikannya.
“Halo Mendung, mainan
apa?”, suara yang tidak asing terdengar dari arah belakang. “Main rumput Pakdhe”,
Laras mewakili Mendung menjawab pertanyaan. “Nanti mandi lho ya, gatel
badannya”, nasihat Pakdhe Yono. Lalu ia pun bergegas masuk rumah. Aroma tempe kemul sudah tercium dari dalam.
Selang beberapa saat, mata
Mendung berkeliling. Melihat beberapa orang kembali ke peraduannya, setelah lelah bekerja. Ia
menghampiri ibunya.
“Bu...”
“Ya?”
“Ayah kok belum pulang?”
“Iya.”
“Kenapa Ayah lambat pulang tiap hari?”
“Ayah kan kerja. Mungkin lagi sibuk,
makanya belum pulang.”
“Sibuk apa?”
“Sibuk ngejar target, Sayang.”
“Kenapa kok target kabur?”
“Bukan targetnya yang
kabur, Nak, tapi. Ah sudahlah”, bisik Laras dalam hati. Sayup-sayup adzan
Maghrib terdengar dari pengeras suara masjid. Laras pun bergegas mengajak
Mendung masuk rumah. Menunggu hari berganti. Entah kapan Ayah kembali.
No comments:
Post a Comment