Saturday, December 2, 2017

Kue Pukis Mang Rahmat

Sebelum menancap gas, Kiki sejenak melihat ke layar handphone. Ia mendengus sebal. Ayahnya lagi-lagi minta dibawakan jajanan pasar. Apalagi kalau bukan kue pukis Mang Rahmat. Padahal, Kiki sebal karena salah satu pegawainya, sering melirik-lirik dirinya. Sialnya, pegawai paruh baya itu berada di meja depan. Bagian pemesanan sekaligus kasir. Pernah suatu hari, Kiki mencuri dengar dari pegawai lain, ia dipanggil dengan nama Solihin.

Kiki turun dari mobil sedan berwarna merah. Rambutnya digulung, hanya menyisakan beberapa helai yang terurai. Memperlihatkan tengkuknya yang putih dan lehernya yang jenjang. Kemeja berwarna orange terang dimasukkannya ke dalam celana jeans. Memperlihatkan pinggangnya yang langsing. Kakinya yang panjang dan ramping, makin terlihat indah dengan sepatu wedges yang dikenakannya. Benar saja, pegawai itu sudah main lirik dari kejauhan.

"Pak, pukis keju, coklat, sama pandannya masing-masing lima ya," nada bicara Kiki terdengar judes.

"Iya, Neng," Solihin melihat penampilan Kiki. Senyum-senyum sendiri.

Kiki yang masih menunggu antrean, memilih duduk di bangku warna biru. Bibirnya cemberut. Sesekali ia melihat Solihin yang tertangkap basah sedang main lirik ke arahnya.

"Ini Neng. Semuanya tiga puluh dua. Buat Neng, tiga puluh aja."

"Nggak usah didiskon Pak, saya ada uang. Lain kali matanya dijaga ya. Nggak usah lirik-lirik pembeli. Jijik sayanya. Kalau masih kurang ajar, saya laporin sama bosnya"

Kiki memberikan uang dengan sangat kasar. Menuju mobil dengan langkah tergesa-gesa. Membanting pintunya dan tancap gas. 

Sontak, seluruh pengunjung melihat Solihin dengan tatapan, Dasar! Sudah tua masih tak tahu diri. Matanya pun berkaca-kaca. "Tidakkah aku lebih mirip denganmu, Nak. Daripada selingkuhan ibumu yang kau panggil Papa itu," katanya dalam hati.

No comments:

Post a Comment