Sunday, September 2, 2018

5 Langkah Memulai Homeschooling

Halo Teman-teman,

Artikel ini bertujuan sebagai dokumentasi tentang awal mula kami memulai homeschooling (HS). Suami saya sebenarnya yang pertama kali menginginkan HS untuk anak-anak, berdasarkan beberapa pertimbangan. Awalnya menolak, namun kemudian mulai sepakat setelah hampir dua tahun kemudian. Lebih tepatnya sekitar tiga bulan lalu. Saya pun mulai berburu info, salah satu yang saya ikuti adalah webinar bertajuk "Menimbang dan Memulai Homeschooling Bersama Rumah Inspirasi".

Kami, atau lebih tepatnya saya, adalah pihak yang 24/7 di rumah, sehingga kegiatan HS pun sebagian besar berpusat di saya. Minimnya pengalaman dan pengetahuan, hanya bermodal nekat dengan sedikit penerangan, saya memulai HS.


Maka, yang saya lakukan pada awal menjalankan HS adalah sebagai berikut:

1. Tidak ada kurikulum apapun yang diterapkan
Kurikulum adalah salah satu momok bagi orang tua yang bukan tidak mungkin mengagalkan niat untuk SEGERA memulai HS. Kita yang notabene belasan hingga puluhan tahun duduk di bangku sekolah formal, pastilah mengaggap bahwa kurikulum adalah nyawa dari suatu pendidikan. Ditambah lagi, kita sebagai murid hanya duduk manis di dalam kelas, sedangkan pemerintah bersama segenap ahli pendidikan yang meramu kurikulum.
Ketika HS, kita dituntut membuat program-program untuk anak kita. Tidak ada yang membimbing, pun bisa jadi kita adalah perintis HS di keluarga besar atau di kota domisili. Disisi lain, banyak sekali informasi tentang metode-metode pendidikan yang semuanya luar biasa. Sebut saja Montessori, Charlotte Mason, Waldrof, Regio Emillia, metode pembelajaran berbasis keagamaan, dan unschooling.

Lalu, saya bagaimana?
Saya teringat bahwa dalam buku "7 Habits of Highly Effective People" disinggung mengenai fokus dengan apa yang bisa dikerjakan. Bukan menguatirkan sesuatu yang tidak bisa kita kerjakan.

Mulailah saya membaca blog-blog para praktisi homeschooling, kemudian menimbang-nimbang bisa diterapkan atau tidak di keluarga kami. Saya juga membaca sedikit demi sedikit, teori metode pendidikan seperti yang sudah saya tuliskan di atas. Tidak berurutan dan tidak menunggu lengkap. Sekiranya yang saya baca saat itu bisa dilakukan, maka saya lakukan. Sekiranya saya coba ternyata tidak jalan, saya hentikan.

Saya tidak mematok mengikuti metode tertentu karena beresiko tidak bisa menyiapkan sarana dan prasarana yang mendukung. Pertama, kami tinggal di kota kecil yang sangat minim infrastruktur. Kedua, sarana dan prasarana bisa dipaksakan untuk disiapkan, namun berefek pada pengeluaran yang juga kami pertimbangkan. Anggap saja mainan edukatif, hanya bisa kami dapatkan dari Pulau Jawa, yang mana ongkos kirimnya pun tidak murah. Sebenarnya, masih bisa dipaksakan membuat, namun selain bahan baku yang juga cenderung susah, waktu saya pun terbatas karena saya juga disibukkan dengan urusan domestik. Jika memaksakan, yang ada saya stres sendiri. Padahal stres adalah komponen utama yang harus saya hindari.

Sehingga, mempertimbangkan usia Azka yang belum genap tiga tahun, maka kegiatan yang kami lakukan pun terbagi menjadi dua yaitu kegiatan yang bisa dilakukan secara konsisten dan sebaliknya. Contoh kegiatan yang bisa dilakukan secara konsisten adalah jam bangun tidur, mandi, makan, dan kembali tidur. Sementara, yang tidak bisa dilakukan secara konsisten adalah jenis permainan.

Kami percaya bahwa setiap individu memiliki keinginan untuk belajar, maka saya pun membebaskan Azka memilih permainannya sendiri. Saya membebaskannya ketika ingin "meng-observasi" isi rumah. Jika berantakan, ya dibereskan bersama. Ketika dia ingin ke luar rumah, ya saya bebaskan juga. Memandang awan, mengamati elang yang terbang ketika kami menjemur pakaian, menjatuhkan diri di rumput, mengejar kupu-kupu, belanja ke pasar mengendarai bentor, dan sebagainya. Kami ada jadwal rutin bermain di luar rumah, yaitu sekitar jam 17.00 WITA. Kami membuat perjanijan bahwa main di luar dilakukan setelah urusan domestik selesai. Ketika suatu hari Azka tidak mau keluar rumah? Ya tidak apa-apa.

Contoh kegiatan outdoor: Menjadi petugas pemadam kebakaran menggunakan tiang carport

Contoh kegiatan outdoor: Ketika tim panjat tebing tidak menerima anggota balita


2. Interaksi Sosial
Sebenarnya, ketika awal-awal memutuskan HS, hal ini lah yang menjadi perhatian saya. Jika saat di Jogja, kami bisa membawanya ke berbagai kegiatan anak-anak. Sementara, di kota kecil ini, hampir tidak ada acara seperti itu. Pun di tempat tinggal kami lingkungannya sangat sepi. Kami keluarga yang berpindah-pindah, tinggal di lingkungan yang juga penduduknya berpindah-pindah. Azka sudah mengenal hello and good bye sejak sangat kecil. Bagi kami hello and see you terasa sulit, hehehe. Ada teman yang sudah akraB, mendadak ayahnya dipindahtugaskan. Begitu lah ceritanya. Bisa jadi suatu saat kami yang berpindah.
Lalu, saya mulai bingung lagi bagaimana mencarikannya teman. Setelah berkeluh kesah dengan suami, saya diyakinkan bahwa tetap berfokus dengan apa yang bisa dilakukan. Masalah interaksi sosial, dilakukan sebisanya. Seperti, membeli barang di warung atau pesan makanan. Kami mempercayakan Azka untuk berbicara sendiri sesuai arahan dari kami. Sejauh ini, terkadang dia mau dan terkadang juga tidak. Terkadang dia juga mau menyerahkan uang ke penjual, namun enggan berkomunikasi, hehe. Ya begitulah, karena dalam hal ini tidak ada tuntutan apapun untuk anak usia dini. Kecuali sudah diharuskan membentuk kelompok arisan atau tergabung dalam PBB (Persatuan Balita Balita).

3. Belajar dari keseharian
Sebelum tertarik dan belajar tentang HS, saya sudah membiasakan Azka untuk terlibat dalam kegiatan domestik. Ketika menginjak satu tahun, saya membiasakannya untuk menaruh baju kotor ke keranjang cucian dan menaruh sampah ke tempatnya. Seiring berjalannya waktu, kegiatan bertambah. Saya mewajibkan dia ikut terlibat ketika memasak, mencuci, menjemur pakaian, menaruh baju ke dalam lemari, serta menyapu dan mengepel lantai.
Saat memasak, dia terlibat langsung dalam memotong-motong bahan makanan. Saya beri dia talenan dan pisau asli (dengan pengawasan dan sudah dipertimbangkan keamanannya), kemudian saya berikan sayuran. Ketika mencuci, saya biarkan dia memasukkan baju ke dalam mesin cuci, menaruh detergent, dan menekan tombol mesin cuci. Saya juga membiarkan dia menjemur pakaiannya sendiri sebisanya. Begitu pula dengan menyapu dan mengepel lantai, saya biarkan dia mengerjakan terlebih dahulu baru saya yang membereskannya. Terkadang terasa pekerjaan menjadi semakin lama, tapi tidak apa-apa. Anggap saja sebagai usaha membangun kebaikan anak
Ternyata, setelah banyak membaca dan mengikuti webinar HS, belajar dari keseharian ini bisa menjadi alternatif kegiatan HS. Memang bukan kegiatan yang menyangkut dengan teori pelajaran. Namun, mendekatkan anak ke kehidupan nyata. Banyak kan yang belajar merawat rumah justru setelah menikah, karena dipaksa keadaan. Bahkan ada yang stres ketika dihadapkan dengan pekerjaan rumah. Itu membuktikan bahwa kebiasaan mengerjakan urusan domestik rumah tangga tidak bisa dibangun dalam waktu singkat. Kegiatan ini juga bisa dijadikan sarana dalam melatih manajemen waktu.

Menjemur pakaian

Hasil menjemur


Ya beginilah

Pekerjaan akan terasa lebih lama


4. Melatih kemandirian
Seperti orang tua pada umumnya, saya juga membiasakan Azka untuk melatih kemadirian dengan cara sederhana. Seperti mengambil air minumnya sendiri, melepas dan memakai baju, melepas dan memakai sepatu, dan sebagainya. Ternyata, ini pun juga menjadi sarana pembelajaran HS.

5. Mengajak berdialog
Kegiatan berdialog yang meilputi bercerita, menjawab pertanyaan, dan berdiskusi adalah kegiatan saya semenjak Azka lahir. Sejak Azka keluar dari rahim, saya menjadi orang yang sering berbicara sendiri, hahaha
Sebelum memiliki anak, saya orang yang sangat canggung "ngliling bayi". Lebih tepatnya bingung mau bicara apa. Namun, setelah Azka lahir saya merasa wajib membangun komunikasi dengannya. Saya membicarakan apa saja. Sebagian besar yang saya bicarakan, tentu saja yang Azka tidak mengerti. Contohnya, Azka lahir ketika tahun terakhir masa perkuliahan saya. Saat itu, saya membaca puluhan jurnal sebagai panduan riset, sehingga saya pun sering membicarakannya dengan Azka. Sejak dalam kandungan pun sebenarnya saya sudah sering menjadikan Azka sebagai pendengar latihan presentasi saya. Aneh kan ya saya ini!
Makin besar, Azka makin menunjukkan keaktifannya bertanya. Jadi, tugas saya menjawab setiap pertanyaan itu. Terkadang mudah dijawab, terkadang sebaliknya. Terkadang saya juga harus memberi tanggapan yang bingung bagaimana menjelaskannya. Contohnya, Azka pernah menyatakan ketidakterimaannya tentang Nabi Muhammad SAW yang sudah meninggal. Azka menginginkan bertemu dengan Rasulullah SAW langsung, bukan sekedar melihat makam beliau. Trus mami kudu piye Nak??
Berdasarkan webinar bersama rumah inspirasi, saya pun akhirnya mengetahui bahwa berdialog dengan anak memiliki manfaat luar biasa besar. Membangun logika berpikir, memberi pengetahuan, dan menambah perbendaharaan kata hanyalah tiga diantara manfaat berdialog dengan anak. Maka, kegiatan ini pun juga dapat menjadi sarana pembelajaran dalam HS


Oh iya, lebih penting dari itu semua, hal terpenting dalam HS adalah membangun kebahagiaan. Baik kebahagiaan anak maupun orang tua. Pastikan anak nyaman dengan orang tua dan juga sebaliknya.

Kira-kira lima poin ini adalah langkah awal saya memulia HS di rumah. Namun, perlu diketahui bahwa saya memulai HS ketika anak masih berusia dini. Di luar sana dan kemungkinan termasuk Anda adalah yang ingin memulai HS ketika anak sudah usia sekolah. Maka, kegiatan tidak bisa sesederhana kelima poin diatas. Terlebih lagi, bagi anak yang sudah pernah mengenyam bangku sekolah formal maka ada masa transisi yang disebut dengan "deschooling", kemudian dilanjutkan dengan menanamkan kemandirian dalam belajar. Hal-hal itu belum bisa saya tuliskan karena belum memiliki pengalaman.

Sebagai penutup artikel ini, saya menekankan bahwa tidak ada patokan baku dalam menjalankan HS. Tidak ada yang salah dan benar, ataupun lebih bagus dan jelek. Saya lebih senang menyebutnya cocok dan tidak cocok. Masing-masing keluarga memiliki preferensinya sendiri. Jika suatu metode dinilai baik dan sesuai dengan nilai-nilai dalam keluarga, kenapa tidak?

Bagi yang ingin berdiskusi, saya membuka pintu lebar-lebar. Silahkan isi kolom komentar di bawah. Dan mari saling memperkaya ilmu :)



Salam hangat,

Astri
(Bukan pakar homeschooling)

No comments:

Post a Comment