Setelah hari kamis yang berjaya, tibalah hari Jumat yang tak terduga. Mungkin memang seperti ini lah hidup ya. Banyak rasanya, hehehe.
Azka bangun pagi, sekitar pukul 05.45 WITA tepat setelah papinya berangkat kerja. Dia yang biasanya bisa “dadah-dadah” terlambat. Duh! Saya kira dia akan marah. Ternyata tidak.
Hari ini kondisi badan saya masih lemas, namun harus tetap semangat!! Saya ingat terus tiga tahapan itu. Saya hanya perlu menjaga mood Azka agar tidak tantrum. Hmmmm…justru baru menginjak pukul 10.00 WITA tantrum kembali mengudara.
Ceritanya, setelah mandi dan sarapan serta ngobrol sejenak, Azka meminta video call dengan oma alias ibu saya. Ketika awal, tidak masalah. Menuju pertengahan mulailah ada ulah. Azka tidak memperbolehkan saya bicara dengan ibu. Dia sendiri menolak untuk berbicara. Namun, telpon tidak boleh ditutup. Aneh kan? Iyaaa, aneeh Pak Eko.
Lalu, berhubung ibu juga ada kegiatan maka saya tutup telpon itu. Menangisnya makin menjadi-jadi. Berteriak, marah-marah, berguling di kasur. Mungkin jika ada orang di luar mendengar, mengira bahwa Azka sedang disiksa. Dengan berbagai kesepakatan, akhirnya saya menelpon ibu kembali.
Saat video call kedua ini, Azka hanya meneruskan tangisannya. Bahkan menambahkan wajah memelas. Ya namanya cucu pertama dan pernah sangat dekat, omanya kasihan. Di sinilah titik saya diuji. Ketidakkompakan antar individu di lingkungan anak menyebabkan anak mudah menjadi tantrum. Begitu lah yang saya baca. Sehingga, saat itu saya meminta untuk mengakhiri saja sesi video calling aneh ini.
Seperti sebelumnya, Azka meraung-raung kembali. Bahkan tidak berbeda sampai saya kuatir dia kelelahan. Lalu, Allah menunjukkan jalannya. Sembari mendengar raungan, tangisan, jeritan saya membuka lagi buku Bunda Sayang: 12 Ilmu Dasar Mendidik Anak. Langsung terbuka tulisan oleh Bunda Gita Louvusa. Tulisan beliau di blog pribadinya sudah sering saya baca. Di buku ini beliau menceritakan tentang aktivitas mendongeng untuk anaknya, Cha.
Bunda Gita dan Cha sering bercerita tentang gambar yang mereka buat sendiri. Bundanya menggambar pohon kelapa, lalu Cha menambahkan ada kakak di atas pohon. Bunda Gita, menggambar kura-kura, lalu Cha menceritakan ada pak polisi gendut yang jatuh di atasnya. Mereka berkisah sambil menggambar. Sederhana katanya, namun membuat ketagihan.
Keluar lah saya dari kamar. Azka makin berteriak, mengira saya meninggalkannya. Saya pergi ke rak buku yang berada di ruang tamu. Lalu mencari bolpen andalan di ruang tengah. Dan kembali ke kamar dengan senyuman.
Azka bingung, teridam sejenak. Saya melihatnya melirik dua benda yang saya bawa. Lalu, saya duduk di sebelahnya menggambar sebuah pantai. Dengan kemampuan menggambar yang mengharukan tentu saja.
“Ini ada pantai, bagus sekali. Kira-kira di pantai ada apa lagi ya?” saya melirik ke arah Azka yang sudah berhenti tantrum. Tangan kanan saya menyodorkan bolpen. Memberi tanda kepadanya untuk ikut serta menggambar.
Dia mengambil bolpen tersebut, “Ada ulaaaaaaar.”
“Waaaa…mengerikan. Kalau haus di pantai biasanya Mami minum es kelapa muda. Nggambar pohon kelapa aaaah.”
“Ngambilnya gimana?”
“Nih ada bapak-bapak yang bawa tongkat ujungnya sabit,” kata saya sambil menggambar orang.
“Tapi orangnya dimakan buayaaa,” kata Azka sembari menggambar buaya di lautan.
Kemudian Azka meminta saya menggambarkan kapal lalu saya bertanya, “Kapal ini untuk apa?”
“Kalau malam-malam untuk berlayar nyari ikan.”
Wow, ternyata dongeng saya tentang angin kemarin masuk ke otak dia. Alhamdulillah.
Kegiatan menggambar dan bercerita ini berlanjut sampai ada buaya makan nelayan, lalu dimuntahkan lagi layaknya Nabi Yunus. Kemudian orang yang dimuntahkan tersebut dibawa ke rumah sakit dan sehat. Dia bisa kembali bertemu dengan keluarganya. Namun nahas, satu keluarga yang sudah bahagia itu harus menelan pil pahit. Karena mereka kompak dimakan hiu. Untungnya, dimuntahkan kembali. Hiu masih lapar, sehingga memakan bangunan. Termasuk Rumah Sakit.
“Lah Mi, ini orang yang lagi di Rumah Sakit jadi gimana?” tanya Azka kepada skenario yang dibuatnya sendiri.
“Lah gimana?”
“Ya udah muntahin lagi aja.” Hidup anak-anak memang indah ya.
Setelah banyak bercerita dan kertas sudah penuh dengan oret-oretan. Saatnya saya memasak. Namun, tiba-tiba ada yang menggenggam tangan saya dan berkata…
“Mami tolong ambilkan kertas kosong lagi dong!”
Benar saja. Kegiatan ini membuat ketagihan :)
No comments:
Post a Comment