Saturday, September 15, 2018

Komunikasi Produktif Hari Ke-6

Kalau boleh menamai hari ini dengan satu kalimat, maka tanggal 9 September 2018 ini akan saya namakan dengan “Hari harap sabar ini cobaan” mengapa? Karena kesabaran saya seakan diuji seiring dengan tantangan komunikasi produktif di kelas BunSay.

Awalnya, pagi ini terasa seperti biasa. Azka bangun pagi sekitar pukul 05.45 WITA. Lalu beraktivitas seperti biasa. Hanya saja tumben sekali dia meminta dibikinkan permainan yang dulu pernah saya buatkan namun saya buang karena sudah lusuh.

Azka meminta dibuatkan gambar pohon lengkap dengan buah apel yang bisa dipetik, lalu dimasukkan dalam gerobak Pak Tani. Gayung bersambut, saya mengiyakan.

Permainan ini hanya terbuat dari kertas hvs bekas dan sampul majalah bekas. Kertas hvs putih ditempelkan ke kertas sampul majalah agar tebal, lalu digambar pohon dan diwarnai layaknya sungguhan. Kemudian di beberapa titik dedaunan, saya lubangi untuk dimasukkan sedotan yang sudah dipotong-potong dan direkatkan menggunakan selotip di sebaliknya. Dengan sisa kertas sampul majalah, saya membuat gambar apel yang ranum merah sekali. Seperti sudah sangat siap panen. Saya juga menggunakan kertas amplop bekas untuk membuat bentuk gerobak pertanian.

Dulu, ketika permainan serupa ini saya buat tujuannya adalah untuk melatih motorik halus. Caranya dengan meminta Azka memasang atau melepas apel dari sedotan. Lubang yang saya buat di gambar apel tidak lah terlalu besar. Sehingga membutuhkan usaha khusus baginya untuk memasang dan melepas. Cara lain adalah dengan memasukkan apel yang sudah dipanen ke dalam gerobak pertanian.
Sekarang, saya ada ide lain. Apel tersebut saya buat sepuluh buah. Masing-masing apel saya tulis huruf alfabet “kecil”. Azka sudah sangat lancar membaca huruf kapital. Namun, untuk huruf “kecil” masih banyak yang terlewat. Maka dengan permainan ini, saya meminta Azka untuk memanen apel dan memasukkannya ke gerobak yang memiliki huruf yang sama.

Membuat permainan dadakan dengan bahan seadanya membutuhkan waktu. Memang saya sudah tidak melihat kesempurnaan. Namun rasanya bagi Azka menunggu saya mungkin serasa seribu tahun lamanya. Sembari menunggu, dia membuka semua barang-barang yang terlihat seperti terbungkus. “Unboxing!” katanya. Sabar pertama.

Kemudian, hati saya sedikit lega karena Azka mendadak mau turun tangan dan ikut mewarnai. Di tengah kesibukannya mewarnai dengan pantat yang tidak bisa menyentuh lantai, alias gerak kesana-kemari. Gelas berisi air sebagai perlengkapan mewarnai pun tumpah tersenggol lututnya. Sabar kedua.

Melihat hal itu, saya memintanya dengan halus untuk mengambilkan kain pel. Otak saya sudah sadar bahwa saya harus lulus tantangan komunikasi produktif. Mau tidak mau harus menekan emosi. Karena disitulah letak kelemahan saya. Mungkin karena output diri saya yang tidak terbawa emosi, menyebabkan Azka mau mengerjakan permintaan saya. Langsung!

Belum selesai air dibersihkan, dibukanya semua penutup sofa yang bahan kainnya seperti sprei. Padahal sofa kami berat bukan main. Terdiri dari beberapa busa pula. Tapi Azka berhasil mencopotnya. Semua! Ya Allah. Belum tepat pukul 11.00 pagi saya sudah mendapat sabar ketiga.

Daripada marah maka saya berpikir, mungkin ini saatnya mencuci penutup sofa setelah lama terundur. Alhamdulillah, tapi sambil elus-elus dada.

Jam sudah lewat dari pukul 11.00 namun saya belum menyiapkan makan siang dan malam. Bergegas lah. Menggunakan celemek, mengeluarkan seluruh amunisi. Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk membuat semuanya menjadi siap dihidangkan. Seiring sejalan, tak lama juga bagi Azka untuk menumpahkan air karena dia sedang berusaha memasukkan air ke dalam botol. Sabar keempat ya, Saudara-Saudara.

Sebelum makan, saya meminta Azka untuk BAK namun berakhir dengan tantrum. Lamaaaaa sekali. Teriak-teriak, menjerit, berguling-guling di kasur, dan menolak memakai baju sendiri. Karena ini sudah sabar kelima dan takutnya saya gagal, maka disela tantrumnya saya langsung sholat.
Setelah sholat berjalan lancar. Hati sudah lebih dingin. Azka sudah mau memakai bajunya sendiri dan menghabiskan makanannya. Lalu, saya terasa ini hari pertama saya datang bulan. Artinya harus siap kram perut, lemas, dan sakit kepala.

Setelah makan, saya meminta Azka untuk tidur siang. Dia malah bermain kesana-kemari sampai hilang sendiri rasa kantuknya. Di sisi lain perut saya makin sakit, namun Azka masih terlihat aktif cerah berseri. Untuk itu saya namakan detik ini dengan sabar keenam.

Berhubung waktu sudah menujukkan pukul 14.30 artinya sudah tiga puluh menit lewat dari target waktu mulai bersih-bersih, saya langsung berkata pada Azka bahwa saya harus mulai menyapu dan mengepel. Hampir tantrum, namun dia meredakan sendiri emosinya dan mulai membantu saya membersihkan. Mulai dari memasukkan mainannya dan menyapu serta mengepel semampunya. Setelah selesai bersih-bersih, saya minta Azka untuk mandi lalu mengajaknya kembali tidur siang di pukul 15.30.

Ketika tulisan ini dibuat, dia baru saja tertidur kemudian saya menyadari satu hal. Benar bahwasannya jika sebelum beramal kita wajib berilmu. Dengan rentetan guncangan ujian kesabaran, satu-satunya cara adalah dengan ilmu. Otak kita akan menyadari secara penuh bahwa ini bukan sesuatu yang harus diselesaikan dengan meledak-ledak. Namun sebaliknya. Harus tenang dan tahu titik di mana harus bertindak. Coba jika tidak ada ilmu. Maka tantrum anak berujung murka orang tua. Padahal, murka orang tua akan sejalan dengan murkanya Allah. Naudzubilahimindzalik.

Semoga saya dan semua ibu terhindar dari rasa emosi yang menyebabkan lisan dan batin kita terbalik dari fungsinya semula. Aamiin.

No comments:

Post a Comment